Pages

Jumat, 28 Juli 2017

[Resensi] Para Bajingan yang Menyenangkan - Puthut EA

Judul buku: Para Bajingan yang Menyenangkan
Penulis: Puthut EA
Penyunting: Prima S. Wardhani
Desainer sampul: R. E. Hartanto
Penata isi: Azka Maula
Penerbit: Buku Mojok
Tahun terbit: Desember 2016 (cetakan pertama)
Tebal buku: 178 halaman
ISBN: 978-602-1318-44-7



BLURB

Sekelompok anak muda yang merasa hampir tidak punya masa depan karena nyaris gagal dalam studi tiba-tiba seperti menemukan sesuatu yang dianggap bisa menyelamatkan kehidupan mereka: bermain judi.


RESENSI

Sahabat yang paling dikenang pastilah sahabat yang telah menjalani suka dan duka bersama-sama. Laiknya filosofi mangan ra mangan asal kumpul yang dipegang erat oleh sebagian masyarakat Jawa, teman yang hadir dan tetap ada dalam keadaan susah atau senang, sedang bisa makan atau tidak, memang akan selalu membekas di hati. Demikianlah yang terjadi pada enam orang pemuda yang secara tak sengaja; mungkin karena campur tangan takdir, atau mungkin karena tuhan mahagayeng, bertemu dan membuat sejumlah "kekacauan" di jagat perjudian.

Kisah yang dialami para bajingan yang menyebut diri mereka (yaitu Puthut, sahabat Puthut, Bagor, Kunthet, Proton, dan Babe) sebagai Jackpot Society ini berlatar di Yogyakarta sekitar tahun 90-an. Seperti yang dinarasikan dalam buku ini dengan cara yang menarik:

Sebagai perbandingan, ketika cerita ini terjadi, harga seporsi kepala tongkol warung padang "Untuang" di Terban adalah 3.000 rupiah. Harga seporsi pecel lele di tenda kaki lima: 1.500 rupiah. Harga rokok Gudang Garam International dan Djarum Super kurang lebih 2.000 rupiah. (hlm. 10)

Siapa yang tidak akan bernostalgia membacanya? Rasanya emosi menjadi lebih tergugah dan terkoneksi dengan paparan harga-harga barang yang terasa akrab pada masa itu, dibanding jika Puthut EA sekadar menulis angka tahun.
Membaca buku ini seakan pembaca sedang dibawa menyusuri lorong waktu, mundur kembali ke Yogyakarta beberapa tahun silam. Saat judi masih marak, saat beberapa sudut kota pelajar ini juga menghadirkan hiburan yang membuat para bajingan kedanan mengadu untung. Untung menang dan untung kalah. Karena bagaimanapun juga, bagi masyarakat kota ini, lucunya, mereka selalu melihat hal yang bisa dianggap untung dalam suatu kesialan atau kerugian. Sama seperti para tokoh dalam Para Bajingan yang Menyenangkan yang masih bisa tertawa cengengesan walau kalah judi dalam jumlah besar.

"Kalau menang sok-sokan, kalau kalah berteori. Kalian ini penjudi apa doktor?" (hlm. 9)

Ada tiga bab dalam buku ini yang membagi potongan kisah dengan jelas. Yang pertama adalah bagian gila-gilaannya para Jackpot Society dalam Kami Tak Ingin Tumbuh Dewasa. Cerita-cerita konyol saat mereka menang dan kalah judi, bagaimana usaha mereka agar menang judi, orang-orang yang mereka kenal selama menjadi penjudi dan ragam kekacauan yang pernah mereka buat. Kisah menegangkan ketika mereka sempat dicegat beberapa preman, juga kisah keisengan-keisengan yang mereka lakukan di kantin bonbin. Ya, kantin fakultas sastra UGM yang terkenal dan melegenda itu. Di sanalah para bajingan ini menghabiskan waktu dan membuat beberapa kegemparan. Tentu saja yang muncul adalah cerita-cerita lucu yang bisa membuat pembaca ngakak terpingkal-pingkal. Banyak sekali tingkah polah mereka yang bisa membuat geleng-geleng kepala. Hingga salah satu dari mereka harus pergi, meninggalkan anggota Jackpot Society lainnya dalam duka. Kesedihan itu ada, kehilangan itu nyata. Maka kenangan akan sahabat yang abadi dalam ingatan itu kemudian semakin dikekalkan pula di dalam buku ini.

Bagian kedua adalah kisah yang tak kalah konyol tentang salah satu anggota Jackpot Society yaitu Bagor yang dituangkan dalam bab Bagor: Setelah Dua Puluh Tahun. Rupanya kekonyolan masih tetap berlanjut. Seorang sahabat boleh saja telah pergi, tapi hidup tetap harus berjalan, gojek kere tetap harus ditegakkan. Bahkan bila itu artinya Bagor menjadi sasaran keisengan Puthut yang tiada habisnya. Tapi itulah teman. Seseorang yang bisa diajak iseng atau malah jadi korban iseng dan balas mengisengi kita, yang bebas menyumpahkan serentetan kata: asu, bajingan, jembut, dan masih tetap bisa kita tertawakan. Ya, selain berisi para bajingan rupanya buku ini pun mengandung banyak kata pisuhan alias makian yang mengalir lancar dalam dialog yang dilakukan para tokohnya. Membuat tertawa, membuat mengelus dada dan membuat ingin balas memaki.

Di bagian epilog, hadir Sekilas Kenangan yang memang benar-benar selintas; tak banyak, tapi menutup dengan apik. Cukup untuk membuat merenung, akan arti persahabatan dan arti kenakalan masa muda. Benarkah bermain judi telah menyelamatkan hidup mereka?
Namun selain itu, tentu saja ada pesan yang lebih menancap dan sangat penting tentang buku ini di bagian epilog:

"Bukune situ yang tentang dunia perjudian kita, bisa saya dapatkan ndik toko buku mana, Bung?"
"O ya ndak bisa didapatkan di toko-toko buku, Bung..."
"Lha kenapa je?"
"Soalnya mempropagandakan hidup yang tak bermoral dan cenderung tolol."

Sangat jelas bukan pesannya?

Membaca buku ini memang hanya bisa ngikik, ngakak dan ngekek. Diceritakan dengan gaya lugas yang jujur apa adanya. Dialog yang selengekan khas dagelan mataraman, dan tentunya banyak menggunakan kosakata bahasa jawa. Meski begitu tak perlu khawatir karena di bagian belakang akan ada glosarium untuk memandu pembaca yang kesulitan memahami bahasa ini. Memang cukup repot sedikit tapi seandainya gojek kere dalam buku ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, mungkin ndagel-nya akan kehilangan nyawanya. Namun harus diakui, Para Bajingan yang Menyenangkan memang pantas untuk disebut novel paling bajingan tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar