Judul buku: Hijab for Sisters
Penulis: Anastasha Hardi
Penyunting: Dion Rahman
Perancang sampul: Ulayya Nasution
Rated: 13+
Genre: Novel Islami
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: 2018
Tebal buku: 264 halaman
ISBN: 9786020453798
BLURB
Di hari pembagian rapor, Asha yang menjadi langganan juara umum di Pondok Pesantren Modern Putri Siti Fatimah, dikejutkan oleh pengumuman Ustazah Nurul mengenai beasiswa yang akan diberikan pihak pesantren. Namun karena nilainya nyaris seimbang dengan Khalda, para ustazah bingung menentukan siapa yang laik diterbangkan ke Jerman untuk mendapat pendidikan yang diimpi-impikan banyak santri. Seakan masih kurang mengejutkan, pesantren mengirim keduanya untuk mengikuti satu semester pendidikan di sekolah umum sebagai tes akhir siapa yang lebih berhak mendapatkan beasiswa. Rangkaian tes ini sangat penting, karena baik Asha maupun Khalda bisa langsung menerapkan ilmu-ilmu agama yang sudah dipelajarinya di tengah-tengah siswa-siswi yang majemuk.
Mampukah keduanya bersaing dengan sehat selama berada di sekolah umum yang terasa asing bagi mereka? Lantas, setelah mengalami berbagai kejadian yang membuat keduanya kian dekat, apakah pengumuman siapa yang akan mendapat beasiswa tersebut masih penting?
RESENSI
Sebenarnya saya telah menyelesaikan novel ini beberapa hari yang lalu, tapi ternyata menuliskan resensinya tidaklah semudah membacanya. Memilah kata dan menyaring yang ingin saya sampaikan ternyata lebih berat, karena saya takut pernyataan saya mungkin bisa ditangkap keliru. Saya butuh mengendapkan dan meredakan riuhnya suara-suara di kepala saya untuk sementara waktu. Karena jujur, isi novel ini, terutama salah satu karakternya, berbeda dengan cara pandang saya. Fiuuhh... but here we go.
Sebagai (mantan) siswi yang menghabiskan masa sekolah di sekolah umum, novel Hijab for Sisters ini sangat menggelitik hati saya. Betapa tidak, Asha dan Khalda, dua gadis manis yang menjadi tokoh utama kisah ini nerupakan siswi yang menuntut ilmu di pondok pesantren khusus putri. Mereka adalah siswi terbaik di angkatan mereka yang kemudian harus berkompetisi untuk mendapatkan beasiswa ke Jerman. Para ustadzah mereka menganggap ujian yang paling pas adalah mengirim mereka ke sekolah umum untuk menguji kesiapan adaptasi mereka secara langsung. Jelas mereka ketakutan... dan saya bisa memahami ketakutan itu. Asingnya kehidupan sekolah yang heterogen di mata mereka, sama asingnya dengan kehidupan pergaulan homogen di mata saya.
Tentu saja Hijab for Sisters menjadi menarik karena perubahan drastis yang harus dilakoni para tokohnya. Jalan cerita seperti ini biasanya tak pernah gagal untuk membuat pembaca khusyuk mengikuti alurnya. Semula saya mengira novel ini akan menjadi serius, tapi rupanya Anastasha Hardi cukup cerdik untuk menyelipkan adegan absurd dan kocak yang membuat novel ini ringan dan enak dibaca.
Pertentangan pertama saya dengan novel ini terjadi ketika Asha dan Khalda membayangkan betapa jeleknya pergaulan di sekolah umum, betapa buruk moral para siswanya dan banyak perilaku menyimpang yang dilakukan di sana. Aww... ini menyakitkan untuk dibaca. Namun saya kemudian menyadari, tentunya itu hanyalah imajinasi yang terbentuk karena terdorong oleh rasa cemas berlebih dari seseorang yang akan memasuki kehidupan yang sepenuhnya berbeda. Beberapa orang mengalaminya, bukan?
Nyatanya ketika hari pertama Asha dan Khalda menginjakkan kaki di sekolah umum... apakah berlebihan jika saya mengatakan seolah mereka membuka pintu ke Narnia? Wkwkwk~
Baru di hari pertama saja, Asha telah bertemu dengan Aidan, siswa ganteng idola sekolah yang sepertinya menaruh minat besar padanya. Tapiiii.... ada yang lebih seru dong. Pertemuan pertama Asha dan Khalda dengan Kepala Sekolah. Astaga! Sumpah saya nggak berhenti ngakak karena Pak Kepsek yang suka iseng ini.
"Diutus? Mendengar kata-katamu, Bapak jadi gemeteran. Bapak merasa seolah sekolah ini adalah sebuah desa jahiliyah yang kedatangan dua orang utusan Tuhan untuk menyampaikan kebenaran." (hlm. 41)
Berawal dari situlah, petualangan Asha dan Khalda semakin menarik dari hari ke hari. Mereka membangun persahabatan dengan beragam orang, termasuk dengan Susanto, siswa ngondek yang menjadikan novel ini terasa segar. Susanto inilah yang membuat Khalda selalu mengucap istighfar 😂😂😂.
Mereka menghadapi konflik yang umum dihadapi remaja seusia mereka. Asha dan Khalda bukan hanya mencoba bertahan dengan prinsip mereka, tapi juga mencoba mengisi masa remaja mereka, bukan dengan kekosongan tanpa arah, tapi dengan sesuatu yang bermanfaat bagi diri mereka dan orang lain. Membangun kepercayaan, membentuk komunitas yang bukan mengeksklusifkan diri tapi merangkul siapa saja. Bukan membentuk benteng, tapi membentuk tapis, demi tetap bisa menyerap hal-hal baik yang ditawarkan dunia ini.
Pada awalnya saya cukup jengah dan terganggu oleh salah satu tokoh dalam novel ini. Khalda saya rasa sedikit berlebihan dan terlalu ceplas-ceplos. Seperti yang kita lihat di media sosial sekarang, banyak sekali orang-orang yang menghakimi perbuatan sesamanya, bahkan kadang seseorang yang lebih muda berani menegur dengan frontal orang yang lebih tua, hanya karena menurutnya perbuatan orang itu salah. Demikian pula Khalda di mata saya, dia main tegur saja tanpa memerhatikan situasi atau perasaan orang yang ditegurnya. Dan bagian konyol dari perasaan saya adalah, saya kok nggak terima dia berasal dari Yogya ya.. Wkwk~ Entahlah, hidup di kota ini, melihat orang-orangnya yang terbuka, yang menerima perbedaan dan luwes, saya kok merasa sedih. Well, tapi mungkin Khalda ini tinggal di sisi kota dan kehidupan yang berbeda dengan saya. 😅😅😅
Sementara Asha lebih menyenangkan, dia lebih tenang dan bisa menahan diri. Ya walau dalam hal kegigihan, Khalda lebih kuat. Itu sebabnya Asha lebih mudah dijebak dan menyebabkan konflik semakin memuncak. Asha juga lebih pandai berkata-kata, pidato singkat yang ia sampaikan pada pak kepsek sangat mengena tapi tetap terasa santun. Bahkan, Pak Kepsek pun sampai kehilangan kata-kata :))))
Bagian seru dari novel ini tentunya adalah kehadiran Susanto. Sayangnya apa penyebab Susanto ngondek tidak dijelaskan banyak dalam novel ini, padahal seandainya Asha, Khalda dan Aidan ingin Susanto berubah, mestinya didalami juga penyebabnya. Seseorang yang merasa gendernya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya tentu ada alasan dan pencetusnya, dan untuk menyembuhkan gangguan (gender dysphoria) itu biasanya dibutuhkan proses terapi. Saya memahami betapa menjadi Susanto sungguh tak mudah, ia bisa bertingkah centil di hadapan orang-orang, bersikap cuek pada omongan orang, padahal mungkin di dalam hatinya ia terus merasa kebingungan. Poor but tough Susanto :"
Secara keseluruhan saya menikmati novel ini, saya suka dengan perkembangan karakter yang dialami para tokohnya. Sebuah kisah yang terlahir dari kekhawatiran akan pergaulan remaja di zaman yang semakin melesat ini. Sebuah petualangan kecil para remaja yang berusaha memegang prinsip tapi tetap fleksibel dan bergaul sesuai norma. Hijab for Sisters tentunya sangat cocok dibaca para remaja karena betapa dekatnya kisah ini dengan kehidupan remaja masa kini. Di sini kita bisa menemukan kekuatan tekad, persahabatan dan apa makna agama bagi hidup kita. Saya, Asha, Khalda, Aidan dan yang lain telah menemukannya, sekarang giliran kalian 😉
REview yang kereen...perlu dikasih reward nih sama pak kepesek :D
BalasHapusAhaha~ terima kasih, Mbak... Mau dong dikasih pak kepsek #eh 🙈
HapusMaaf itu halamannya kok 264 halaman tp kok dibukunya ada 262 halaman, apa itu halamanny dihitung sampai kehalaman yang tentang penulis?
BalasHapusGda otak
BalasHapusBagian pendahulunya yang mana
BalasHapus