Pages

Jumat, 20 Februari 2015

Resensi Dua Ibu - Arswendo Atmowiloto

Judul                     : Dua Ibu
Penulis                  : Arswendo Atmowiloto
Penerbit                : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama : 1980
Cetakan ketiga     : Juni 2004
Tebal buku            : 304 halaman
ISBN                       : 978-602-03-0602-5

BLURB
Dalam kehidupan ada dua macam ibu. Pertama, sebutan untuk perempuan yang melahirkan anaknya. Kedua, sebutan untuk perempuan yang merelakan kebahagiaannya sendiri buat kebahagiaan anak orang lain, dengan rasa bahagia pula.
     Yang paling istimewa jika dua macam sifat itu bergabung menjadi satu.
     Aku bisa bercerita karena aku memiliki.
     Aku memiliki dan ia kupanggil Ibu.
     Begitulah pengakuan Mamid. Demikian juga pengakuan delapan anak yang lain yang dikeluargakan karena kasih sayang ibu dan ayah.
     Ini memang kisah kasih dan sayang, kisah perjalanan seks, kisah perkawinan, dan juga kisah kematian yang pendek. Ditulis dengan gaya album. Menyajikan suasana per adegan, tidak selalu berurutan tetapi berangkaian, kadang membawa emosi, menyeret kenangan, dan melahirkan penilaian.

RESENSI
Dua Ibu adalah kisah tentang seorang ibu dengan sembilan anak; Solemah, Mujanah, Jamil, Ratsih, Herit, Adam, Mamid, Prihatin dan Priyadi. Tentang perjuangan ibu membesarkan anak-anaknya dengan darah dan keringat.

Cerita diawali dari sudut pandang Mamid (aku) yang mengungkapkan betapa ia memuja sang ibu.
Lama aku menyadari bahwa Ibu menjadi merpati, juga bagi anak merpati lain. Bahwa Ibu menjadi harimau, juga untuk anak harimau yang lain. Kalau mungkin aku ingin kawin dengan Ibu. Padanya aku tak pernah sangsi bahwa aku mencintainya, dan padanya aku tak pernah sangsi bahwa ia mencintaiku. (Hal. 12)
Sejak ayah meninggal, praktis ibu yang harus menghidupi anak-anaknya. Kehidupan makin sulit setelah Solemah dan Mujanah menikah karena ibu telah menjual barang-barang di dalam rumah. Puncaknya saat Mamid dikhitan dan ibu harus mengeluarkan banyak biaya.
Jamil yang kemudian memaksa Mamid untuk ikut Tante Mirah ke Jakarta. Konon, Tante Mirah adalah ibu kandung Mamid. Jamil punya rencana dan itu akan terlaksana kalau Mamid ikut Tante Mirah tinggal di Jakarta.
Dan cerita semakin bergulir, Mamid bersedia meninggalkan Ibu dan tinggal di Jakarta bersama Tante Mirah dan Om Bong, orang tua kandungnya. Jamil, satu-satunya anak kandung ibu memilih pergi dari rumah untuk jadi pelaut. Ratsih menikah dengan atasan suami Solemah dan pindah ke Surabaya bersama Herit.

Kisah beralih pada perjalanan Jamil, seperti yang dikisahkan tiga tahun kemudian. Tentang perjalanan Jamil sebagai penumpang gelap ke Jakarta, tentang usahanya bertahan hidup dan menjadi awak kapal gelap.

Ada juga kisah-kisah Solemah dan Ratsih melalui surat-surat mereka untuk Ibu.
Satu-persatu anak-anak yang Ibu ambil dan Ibu besarkan mulai mandiri, mulai bisa mengepakkan sayap namun tetap membawa nilai-nilai hasil didikan Ibu. Mungkin itulah titik selesainya tugas seorang Ibu.

---------

Saya cukup banyak merasakan ikatan dengan Mamid karena saya pun memiliki. Ya, saya pun memiliki dua ibu. Saya tahu betapa beratnya harus meninggalkan ibu dan ikut orang tua kandung. Kalau dipikir-pikir usia saya meninggalkan ibu saya juga hampir sama dengan usia Mamid.

Arswendo juga dengan 'cantik' menggambarkan cara Mamid sebagai orang Jawa beradaptasi di Jakarta. Bagaimana Mamid masuk ke lingkungan pertemanan mereka. Mamid mungkin penakut tapi ia cerdik.

Bagian yang saya sukai adalah surat-surat Solemah dan Ratsih. Dengan latar waktu di era Orde Lama, surat adalah sarana komunikasi jarak jauh bagi masyarakat umum. Melalui surat, Solemah dan Ratsih menuliskan segala pemikiran dan kegusaran mereka. Meski begitu, penulis dengan rapi membuat perbedaan nyata pada ciri khas surat mereka berdua.

Nilai sosiologis dalam novel ini begitu kuat. Pembaca seperti diajak memasuki mesin waktu untuk menikmati Kota Solo tempo dulu lengkap dengan nilai- nilai sosial masa itu.
Arswendo juga berkisah dengan lugas selugas-lugasnya. Dengan cerdik, penulis membawa pembaca menyelami darah muda Mamid dalam memaknai hubungan pria dan wanita.
Dan saat tiba giliran surat-surat Solemah dan Ratsih, penulis menyuguhkan pemikiran-pemikiran lugu khas perempuan-perempuan masa itu.

Saya mendapati bahwa nilai kepercayaan mereka terhadap Ibu begitu besar sehingga tanpa ragu mereka menanyakan problema seks mereka pada Ibu. Tentunya mereka lebih malu bertanya pada sesama teman dan lebih memilih berkonsultasi dengan Ibu.

Meski saya pikir tetap ada bagian abu-abu yang samar tentang jati diri tokoh-tokoh dalam novel ini. Tapi mengingat cerita ini dikisahkan dari sudut pandang seorang anak, tentunya memang tidak semua hal terungkap dengan gamblang. Bagaimana pun setiap orang tua punya rahasia tersembunyi dari anak-anaknya.

Tokoh favorit saya tentu saja Ibu. Terlepas dari kekhilafan dan kekurangannya, Ibu adalah sosok yang 'kuat ngrekasane' dan sabar dalam situasi apa pun.
Dicintai anak-anak sendiri adalah hal yang mudah, tapi dicintai dan dihormati anak-anak yang bukan darah dagingnya sendiri adalah hal luar biasa. Sosok Ibu mengajarkan pada saya bahwa selalu akan ada jalan untuk saat-saat tersulit. Mengajarkan cinta tak terbatas untuk anak-anak.


TEBAR-TEBAR QUOTE


"Kemiskinan dekat sekali dengan kejahatan. Kalau kau miskin tanpa menjadi jahat, kau akan memetik hasilnya." (Hal. 47)

"Ya," kata Jamil. "Tuhan seperti kita, tak punya tempat tidur lagi." (Hal. 48)
"Ya, kita harus bersyukur," kata Jamil serius. "Kita harus bersyukur karena ada tetangga yang mati. Coba sehat semua, kita tidak dapat nasi selamatan." (Hal. 50)
Aku tidak begitu tahu, perpisahan harus diiringi tangis begitu. Aku juga tidak tahu bahwa bagian terberat dari perpisahan bukanlah ketika saling melambaikan tangan. Bagian terberat adalah hari-hari sesudahnya. (Hal. 97)
"Kalau kau pelupa, ingat-ingatlah bahwa kau ini pelupa. Selama kau ingat bahwa dirimu pelupa, kau tidak akan kehilangan." (Hal. 115)
"Yang paling Ibu benci ialah, sehari setelah kawin, anak-anak itu menjadi sederajat dengan ibunya." (Hal. 204)
"Kalian tidak mengecewakan Ibu, karena Ibu tak menuntut apa-apa. Kebahagiaan, mungkin itu satu-satunya yang Ibu harapkan." (Hal. 238)
Sekaligus mengingatkan bahwa pangkat itu hanya pinjaman, yang sifatnya sementara. Yang sementara itu kita syukuri, kita pelihara sebaik-baiknya. (Hal. 241)
Saya beri 4 bintang untuk kisah yang menginspirasi dan mengharukan ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar