Pages

Sabtu, 24 Oktober 2015

[Resensi: Falling - Rina Suryakusuma] Ketika Jatuh pada Orang yang Salah


Judul buku: Falling
Penulis: Rina Suryakusuma
Editor: Hetih Rusli
Desain sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Maret 2015
Tebal buku: 320 halaman
ISBN: 978-602-03-146-17



BLURB

Carly merasa hidupnya berjalan normal. Ia punya orangtua yang menyayanginya, calon tunangan yang tampan dan perhatian, serta sahabat-sahabat yang peduli padanya. Namun, Carly selalu merasa hidupnya belum utuh, ada kehampaan dalam hatinya. Sampai satu titik ia bertemu Maggie, dan ia tahu hidupnya takkan pernah sama lagi.

Maggie memiliki karier sukses dan tahu bahwa dia tidak seperti perempuan kebanyakan. Dan, Maggie tidak pernah ragu dengan apa yang dia inginkan dalam hidup. Sampai ia bertemu dengan Carly dan menjalin hubungan kerja. Hubungan yang berlanjut pada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang dalam, dan mengubah pandangan serta perasaan mereka selamanya.

Hingga akhirnya Carly pun menyadari bahwa dia perlu jatuh cinta pada orang yang salah untuk menemukan dirinya yang sesungguhnya....

RESENSI

Carly merasakan nasib buruk saat namanya disebutkan sebagai karyawan ODP (Organizational Development Program) yang akan berada di bawah bimbingan Maggie. Dari lirikan sekilas saja sudah ketahuan kalau Maggie akan menjadi atasan yang tak kenal ampun.
Bahkan teman-teman sesama karyawan ODP membuat taruhan bahwa Carly bakalan resign dalam waktu tiga bulan karena tak akan tahan menghadapi Maggie.
Dengan tekad sekuat baja, Carly pun berusaha menyesuaikan diri dan bekerja sama giatnya dengan Maggie.
Hingga Carly menemukan saat di mana ia melihat Maggie sebagai wanita biasa yang rapuh. Sejak itulah Carly merasakan perutnya melilit setiap melihat Maggie. Sekuat tenaga Carly berusaha menghapus perasaannya terhadap Maggie. Ia anggap itu adalah perasaan yang salah, terlebih ia telah memiliki tunangan yang tampan dan sabar. Sementara Maggie sendiri masih dekat dengan mantan pacarnya. Carly pun berusaha menjauhi Maggie.
Tapi bagaimana jika seiring waktu Carly merasa rindu pada Maggie? Saat Carly berpisah dengan Seth dan jauh dari Maggie, siapa yang paling ia rindukan? Benarkah ini hanya sebuah fase?

----------------

Membaca blurb Falling membuat rasa penasaran saya tergugah. Mengangkat tema cinta sesama jenis tentunya akan cukup rawan jika penulis nggak pintar menarik simpati pembaca. Dan saya anggap Rina Suryakusuma berhasil menuturkannya dengan porsi yang imbang.

Diceritakan dengan POV orang ketiga, Falling lebih banyak bertutur dari sisi Carly. Alurnya yang maju membawa saya menyelami perasaan-perasaan Carly, kegelisahannya, kegalauannya juga kegusarannya terhadap orang-orang di sekitar wanita itu.
Hingga saya mulai merasa kegamangan Carly terlalu membosankan. Rasanya sepanjang cerita hanya berkutat pada kegalauan Carly untuk menyadari dan mengakui bahwa ia mencintai Maggie atau nggak. Itu sempat membuat saya geregetan. Haha....

Kekuatan novel ini ada pada latar pekerjaan para tokohnya. Dengan kisah Carly yang merupakan karyawan ODP divisi leasing sebuah mal, penulis sangat detail menuliskan beban kerja dan ketegangan suasana di dalam divisi itu. Gambaran situasinya dideskripsikan dengan baik.

Sayangnya saya merasa dasar perubahan  orientasi Carly kurang kuat. Mengapa ia yang semula merupakan perempuan heteroseksual, hanya dengan bertemu Maggie, ia bisa jadi goyah? Apa mungkin karena masa lalunya yang membuatnya trauma? Apakah kepergian ibunya membuat jiwa perempuan dalam dirinya marah? Saya pikir jika itu digali, bisa lebih memperkuat alasan-alasan perubahan diri Carly.

Saya mencatat adegan yang ganjil pada pagi hari ketika malam sebelumnya Carly pulang kerja diantar Maggie karena sakit. Mobil Carly ditinggal di kantor. Pagi harinya, Carly berangkat naik taksi.

Carly tak peduli. Seperti kesetanan ia membuka pintu taksi dan duduk di kursi penumpang. (hlm. 153)

Kemudian di dalam taksi ingatan Carly beralih ke beberapa tahun silam mengenai kepergian mamanya. Dan ketika ia menghentikan lamunan itu, Carly nggak lagi ada di dalam taksi, tapi menyetir sendiri!

Carly menatap lurus ke depan. Ia menyetir dengan air mata mengambang. Ia membiarkan tetes itu meluncur turun. Titik demi titik tanpa berusaha menghapusnya. (hlm. 157)

Tapi sampai air matanya habis, sampai ia tiba di kantor dan memarkir mobil di pelataran parkir depan mal, rasa lega itu tak juga kunjung melingkupi dirinya. (hlm. 158)

Lha kok bisaa?? Kan tadi naik taksi, mobilnya diparkir di kantor karena pulangnya diantar Maggie, tapi kok jadi nyetir mobil sendiri? ^^

Dan untuk karakter Jo Anne, saya merasa terlalu berlebihan. Well, saya tahu tugas sahabat adalah memberi tahu jika kita salah, tapi bukan berarti berhak menghakimi. Dan itulah kesalahan Jo Anne di mata saya. Saya rasa dia nggak bisa disebut sahabat kalau lebih sering menuduh, menghakimi dan menekan Carly. Meski memang tujuannya demi kebaikan Carly dan mengingatkan bahwa perasaan Carly itu salah, tapi Jo Anne benar-benar melangkah terlalu jauh. Saya sih kalau punya sahabat yang melenceng—dan, ya, saya punya—saya nggak bakalan menghakiminya seperti cara Jo Anne menghakimi Carly.

Endingnya cukup heartwarming bagi saya. Terutama perdamaian yang dicapai Papa dan Carly. Kasihan tuh Papa kalau dicuekin terus-terusan :))

Overall, saya menikmati kisah ini. Dan saya merasakan kemajuan Rina Suryakusuma dalam menulis sejak Postcard from Neverland.

TEBAR-TEBAR QUOTE

Because heart can see what the eyes cannot see and a mind cannot understand. (hlm. 101)

Waktu tidak membuat lupa. Terkadang ia hanya berbaik hati dan membiarkanmu melewati hari yang lebih tenang. Tepat ketika kau berpikir bahwa semua baik-baik saja, ia akan kembali menyergap dan membuatmu menangis. (hlm. 254)

"Kadang hidup menuntunmu ke arah yang tak disangka. Dan tidak semua pemandangan yang tersaji itu menyenangkan. Tapi sudah lama juga Papa belajar untuk percaya, yang terbaik adalah menerima apa pun yang ditawarkan oleh hidup pada kita, dan menjaganya agar yang paling kita sayangi bahagia. Biarpun itu berarti merelakan mereka pergi. Atau membiarkan mereka nemilih jalan yang mungkin tak akan kau pilih sendiri." (hlm. 262-263)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar