Judul buku: Rule of Thirds
Penulis: Suarcani
Penyunting: Midya N. Santi
Penyelaras aksara: Mery Riansyah
Perancang sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Desember 2016
Tebal buku: 288 halaman
ISBN: 9786020334752
BLURB
Apalagi yang paling menyakitkan dalam pengkhianatan selain menjadi yang tidak terpilih?
Demi mengejar cinta Esa, Ladys meninggalkan karier sebagai fotografer fashion di Seoul dan pulang ke Bali. Pulau yang menyimpan kenangan buruk akan harum melati di masa lalu dan pada akhirnya menjadi tempat ia menangis.
Dias memendam banyak hal di balik sifat pendiamnya. Bakat terkekang dalam pekerjaannya sebagai asisten fotografer, luka dan kerinduan dari kebiasaannya memakan apel Fuji setiap hari, juga kemarahan atas cerita kelam tentang orang-orang yang meninggalkannya di masa lalu. Hingga dia bertemu Ladys dan berusaha percaya bahwa cinta akan selalu memaafkan.
Ini kisah tentang para juru foto yang mengejar mimpi dan cinta. Tentang pertemuan tak terduga yang bisa mengubah cara mereka memandang dunia. Tentang pengkhianatan yang akhirnya memaksa mereka percaya bahwa hidup kadang tidak seindah foto yang terekam setelah mereka menekan tombol shutter.
RESENSI
Setelah tiga belas tahun mengikuti papa "bersembunyi" di Seoul, Ladys akhirnya kembali ke Bali. Tujuannya hanyalah berada dekat dengan Esa dan mungkin meningkatkan hubungan mereka ke jenjang status pernikahan. Sayang kenyataan tak seindah harapan. Di hari pertamanya bekerja sebagai fotografer, Ladys bertemu dengan Dias, pemuda aneh yang lebih memilih membisu di dekatnya. Pemuda sok tahu yang membuat Ladys geram dan uring-uringan.
Namun yang lebih menyakitkan, Ladys harus menelan kenyataan pahit akibat pengkhianatan Esa.
Namun Ladys masih belum mampu meninggalkan Bali. Apalagi pertemuannya dengan Dias ternyata bagai takdir agar mereka berdamai dengan masa lalu masing-masing. Bersama, kedua fotografer ini berusaha mencari arti cinta dan memaafkan.
----------------------
"Cinta akan selalu memaafkan." (hlm.132)
Rule of Thirds adalah kesempatan kedua saya membaca karya Suarcani, setelah dulu sempat membaca Stardust Catcher dan memandu blogtournya. Bagi saya, Stardust Catcher adalah novel Young Adult yang membekas di benak saya, maka saya pun jadi ingin menjajal mencicipi karya baru Suarcani yang muncul di lini Metropop.
Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama bergantian dari sisi Ladys dan Dias. Nggak perlu takut bingung karena ada perbedaan yang jelas di antara keduanya. Ladys menggunakan kata ganti "saya" dan cenderung keras kepala, sementara Dias menggunakan kata ganti "aku" dan terkesan cuek. Mereka konsisten dengan kepribadian masing-masing dan muncul saling mengisi satu sama lain.
Ada dua hal dalam novel ini yang menonjol dan melekat kuat di benak saya. Yang pertama adalah setting Bali yang lagi-lagi digunakan oleh Suarcani. Settingnya terdeskripsi dengan apik dan rapi, cukup jelas bagi saya yang buta akan lokasi-lokasi di Bali. Suasana dan alam Bali terpotret dengan baik.
Yang kedua adalah dunia fotografi yang digeluti oleh Dias dan Ladys, segala istilah dan filosofi tentang potret memotret dituangkan dalam buku ini. Menarik karena Suarcani mampu menarik garis antara istilah fotografi dengan filosofi dalam hubungan antar manusia. Saya jadi merasa nyambung-nyambung saja dan nggak terbingungkan dengan istilah-istilah tersebut.
Yang saya rasa cukup drama hanyalah Ladys. Hahaha... pertama saya jengkel karena Ladys merasa nggak terima karena Dias 'sok pintar'. Haduuuh saya sempat benci karena dia menganggap Dias bego dan nggak ngerti apa-apa. Saya nggak suka ada orang yang meng-underestimate seseorang apa pun profesinya dan seperti apa penampilannya. Bahkan saat Ladys akhirnya 'tertonjok' fakta tentang Dias, saya masih belum puas.
Kemudian plin-plan dan ragu-ragunya Ladys menyikapi hubungannya dengan Esa itu bikin gemas-gemas jengkel. Pantaslah kalau Dias jadi murka, untuk alasan yang tepat.
Sementara Dias saya anggap karakter yang pas sebagai penyeimbang. Saya suka dengan sosoknya yang biasa aja. Nggak menonjol, tenang—nggak mudah terpancing dan yaah.. bego dalam urusan asmara. Khas cowok. *lalu saya dirajam para cowok* wkwkwk~
Esa sendiri pria yang gigih meski ngawur. Haha... Alasannya untuk tetap di samping Ladys itu egois sih. Nggak ada dewasa-dewasanya, tapi yaah saya akui dia pintar ngegombal sehingga bikin Ladys hilang logika.
Konflik dalam Rule of Thirds memang cukup menarik. Betapa kita bisa memiliki nasib yang sama dengan beberapa orang namun menyikapinya dengan cara yang berbeda-beda. Berduka dan berdamai karena kehilangan dan pengkhianatan dengan cara masing-masing. Betapa nasib kadang menyeret kita pada pola yang sama dengan yang dialami orangtua kita, entah kita sadar atau tidak.
Rule of Thirds bukan hanya menyoroti kisah cinta rumit antara dua-tiga orang saja, namun juga tentang drama keluarga. Yah, saya dibikin nangis juga oleh buku ini. Bukan hanya karena adegannya, tapi juga diksi yang digunakan Suarcani membuat momennya makin dalam. Memang, membaca novel ini bikin geregetan, bukan hanya karena tensi hubungan para tokohnya naik turun, tapi juga ditarik dan diulur. Lihat saja di bagian akhirnya, huh jantung saya rasanya mau copot karena saya kira endingnya bakal bikin saya sedih. Tapi ternyata aww... endingnya supeeerr manis. Sukak 😍