Judul buku: Kelir Slindet
Penulis: Kedung Darma Romansha
Setter: Ayu Lestari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Maret 2014
Tebal buku: 256 halaman
ISBN: 9786020303567
Penulis: Kedung Darma Romansha
Setter: Ayu Lestari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Maret 2014
Tebal buku: 256 halaman
ISBN: 9786020303567
BLURB
Kelir Slindet adalah sebuah potret kelam masyarakat desa yang terjebak dalam budaya dan mentalitas kemiskinan struktural: budaya dan mentalitas "pasangan Saritem dan Sukirman" yang telah melanggengkan kemiskinan, kejumudan, kemaksiatan, dan kemudaratan yang berkelindan dari generasi ke generasi. Keberhasilan Kedung Darma Romansha merekonstruksi "realita" kelam tersebut hanya bisa dicapai oleh penulis yang (pernah) menjadi bagian dari dan merasakan secara langsung ritme kehidupan mereka; di samping tentu saja yang memiliki kualitas emosional yang begitu terjaga dalam proses kreatifnya. Saya merasakan Romansha sebagai penulis muda yang sangat potensial dan dapat memberikan warnanya pada peta sastra Indonesia — Herry M. Saripudin Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan (P3K2) Asia Pasifik dan Afrika (Aspasaf), Kemlu, dan penikmat sastra.
Tidak banyak penulis novel sekaligus penyair, namun juga pemain teater yang tumbuh pasca generasi 80. Oleh karena itu, membaca karya Kedung Darma ini akan mendapatkan personalitas berceritanya yang tidak lepas dari latar belakangnya. Sebuah karya yang patut dibaca. — Garin Nugroho Sineas
Sebuah karya yang lahir dari perjalanan mata yang tidak hanya melihat. Rasa yang dalam, muncul dari tiap lembar kehidupan di sebuah kota kecil, yang penuh dengan kegetiran. Kita seolah dibawa ke sebuah dunia yang KITA sendiri, pembaca, yang mengalaminya. — Teuku Rifnu Wikana Aktor Film
Kedung Darma Romasha memang liar dan tengah menderita dendam. Dendam seorang santri pada tanah kelahirannya yang sangat ia cintai. Ia kerasukan, dan novel Kelir Slindet inilah yang menjadi saksinya. — Joni Ariadinata Sastrawan, Redaktur majalah sastra Horison dan ketua umum Jurnal Cerpen Indonesia
RESENSI
Safitri adalah gadis usia 14 tahun yang menjadi santri sekaligus artis kasidah pimpinan Musthafa di mushola milik Haji Nasir. Setiap kali Safitri berlatih kasidah, Mukimin, anak bungsu Haji Nasir, tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengintip dari jendela samping mushola. Mukimin tergila-gila pada Safitri, teman sebayanya itu. Mukimin sendiri adalah pemuda urakan yang lebih sering bolos dan iseng luar biasa, tapi selalu saja jadi tolol kalau sudah berhadapan dengan Safitri.
Tak disangka, rupanya Safitri pun menyukai Mukimin. Mereka sering terlihat duduk berdua di dekat sungai walau tetap saja Mukimin kesulitan menyatakan cinta. Hingga Musthafa yang rupanya juga menaruh hati pada Safitri datang melamar Safitri. Takut kalah dari kakaknya, Mukimin pun akhirnya menyatakan cinta.
Sayang perjalanan kasih mereka harus terbentur status sosial. Ayah Mukimin melarang mereka berpacaran karena Safitri adalah anak seorang telembuk, seorang PSK. Ibu Safitri pun nguntap dan melabrak Haji Nasir. Sejak itu mereka dilarang bertemu. Hubungan mereka terputus. Safitri pun mengurung diri di kamarnya, dan Mukimin kabur entah ke mana.
Hingga suatu hari, Cikedung dikagetkan aksi Safitri yang naik ke panggung dan berjoget dangdut dengan hebohnya. Banyak yang menganggap Safitri stres lantaran ditolak Haji Nasir. Banyak yang mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi Safitri tak menggubris, ia makin gila-gilaan di atas panggung tarling dan dangdut.
Beberapa ustad datang untuk melamarnya, untuk membawanya kembali ke jalan yang benar, tapi Safitri menolak. Namun rupanya gadis itu menyimpan satu rahasia. Alasan mengapa ia berubah. Sesuatu yang kemudian membuat Cikedung gempar.
-------------------------------
Apa salahnya menjadi anak telembuk?
Apa salahnya jika anak telembuk jatuh cinta pada anak seorang kaji, yang sekaligus juga seorang kuwu?
Atau sebaliknya, apakah salah jika anak seorang kaji jatuh cinta pada anak telembuk?
Pertanyaan ini terus bergelung di benak saya sejak mulai membaca novel Kelir Slindet hingga menutup lembar terakhirnya. Banyak kerisauan dan penyesalan yang saya rasakan selama membaca novel ini. Beneran. Saya marah. Saya kesal. Saya sedih dan menyesal untuk Safitri. Betapa kejamnya masyarakat menjatuhkan vonis kepada seseorang, terutama jika seseorang itu adalah perempuan. Betapa orang-orang selalu berasumsi sendiri dan memandang hanya dari satu sisi; sisi yang berupa kepentingannya sendiri. Kan kirik.
Dalam novel ini, Safitri dan Mukimin adalah remaja usia 14 tahun yang tinggal di Cikedung, salah satu daerah di Indramayu. Peristiwa yang mereka alami terjadi di tahun 1997. Penggambaran settingnya benar-benar mendetail, bukan hanya dari yang tampak di mata, tapi juga yang berkaitan dengan indera pendengaran, penciuman dan yang terasa di pori-pori kulit. Narasi deskripsinya terasa sangat nyata. Bisa dibilang lokalitas dalam novel ini begitu kuat.
Saya sempat iri dengan Safitri dan Mukimin ketika mereka menjalin kasih hanya dengan duduk diam bersisian di tepi parit, dekat sebuah sungai dan persawahan. Mukimin yang urakan itu bisa juga jadi tolol di hadapan gadis pujaannya. Sementara Safitri yang lugu, malu-malu tapi dalam hatinya geregetan juga terhadap ketololan Mukimin. Sepasang muda-mudi yang cintanya harus terhalang status sosial.
Malang nian jadi Safitri dalam Kelir Slindet ini. Safitri terlahir dari rahim seorang telembuk, dan memiliki ayah yang pemabuk, penjudi juga doyan telembuk. Orang-orang dengan mudah melabelinya sebagai "anak telembuk"... nggak ada yang menyebutnya sebagai penyanyi khasidah padahal dialah vokalis utamanya. Seolah nilai-nilai kebaikan nggak ada harganya di mata orang-orang. Semua orang lebih suka melihat sisi buruk seseorang dan menyebarkannya. Entah dengan tujuan apa, mungkin rasa iri, mungkin agar dirinya sendiri terlihat lebih baik, atau bisa juga karena kebodohan sehingga menelan semuanya mentah-mentah. Dari sini saya menganggap, Kedung Darma Romansha memotret dengan baik isu sosial yang sungguh benar adanya.
Ada orang sukses dianggap memakai pesugihan, ada orang cantik dan jadi idola diisukan memiliki susuk, ada satu keributan lantas beredar gosip yang macam-macam versinya. Capek nggak sih hidup di tengah masyarakat yang seperti itu wkwkwkk~
Tapi itulah Cikedung dalam novel ini, itulah yang harus dihadapi Safitri dan Mukimin.
Di antara semua tokoh yang sebenarnya sulit bagi saya untuk mencerna siapa saja mereka—karena sungguh banyak banget tokoh yang bermunculan dan saling berkaitan tapi saya susah mengingatnya—tokoh yang paling saya benci adalah Saritem. Ibu Safitri. Sebagai mantan telembuk wajar jika ia menginginkan kehidupan yang lebih bahagia bagi anaknya. Wajar jika ia berharap Safitri berjodoh dengan salah satu putra Haji Nasir. Tapi ketika harapan itu gagal, ketika Haji Nasir menolak Safitri karena Safitri adalah anak telembuk, bukannya sadar ia malah terus marah-marah dan menimpakan semuanya pada Safitri. Kenapa Safitri yang dimaki anak sial, anak tak tau diuntung, kenapa bukan pada dirinya sendiri ia memaki. Sekali lagi, sungguh sial banget jadi Safitri. Bukannya didukung ibunya sendiri saat seluruh masyarakat mencelanya, tapi si ibu malah sibuk sendiri karena merasa dipermalukan.
Maka jauh di dalam hati saya bersorak saat Safitri nekat. Saat Safitri akhirnya memilih jalannya. Menentukan apa yang diinginkannya. Walau perih dan memilukan. Sosok Safitri yang baru, yang terlahir dari nyinyiran mulut orang-orang usil, jika ia berdosa maka berdosalah juga orang-orang sok suci yang nggak berbuat apa-apa dan malah menyiramkan minyak ke dalam api.
Membaca Kelir Slindet ini terasa banget ada bagian-bagian yang hilang. Bagian-bagian misterius yang kemudian menimbulkan pertanyaan. Terutama siapa pelaku yang menghamili Safitri. Tentunya untuk menjawab segala pertanyaan itu, saya harus membaca Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat, yang konon merupakan novel lanjutan yang akan memberi pencerahan 😉