Judul buku: London: Angel
Penulis: Windry Ramadhina
Editor: Ayuning & Gita Romadhona
Proofreader: Jia Effendie
Ilustrasi isi: Diani Apsari
Penerbit: Gagas Media
Tahun terbit: 2013
Tebal buku: 330 halaman
ISBN: 979-780-653-7
BLURB
Pembaca Tersayang,
Mari berjalan di sepanjang bantaran Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye.
Windry Ramadhina, penulis novel Orange, Memori, dan Montase mengajak kita menemani seorang penulis bernama Gilang mengejar cinta Ning hingga ke Fitzrovia. Namun, ternyata tidak semudah itu menyatakan cinta. Kota London malah mengarahkannya kepada seorang gadis misterius berambut ikal. Dia selalu muncul ketika hujan turun dan menghilang begitu hujan reda. Sementara itu, cinta yang dikejarnya belum juga ditemukannya. Apakah perjalanannya ini sia-sia belaka?
Setiap tempat punya cerita.
Dalam dingin kabut Kota London, ada hangat cinta menyelusup.
Enjoy the journey,
Editor
RESENSI
Setelah sekian lama memendam perasaan cintanya terhadap Ning, Gilang memutuskan untuk terbang ke London menyusul Ning. Meski keputusan sembrono itu ia ucapkan saat mabuk bersama teman-temannya, tapi teman-temannya bersatu padu berusaha mewujudkannya meski Gilang kembali didera rasa ragu. Maka berangkatlah Gilang ke London tanpa memberi kabar pada Ning terlebih dulu. Gilang ingin memberi kejutan pada Ning.
Namun setiba di London, Gilang mendapati rumah kos Ning kosong. Rupanya gadis itu tak pulang beberapa hari. Dengan gontai, Gilang pun memilih menunggu Ning di penginapan Madge. Di sana ia bertemu orang-orang yang kemudian tanpa ia sangka akan mempengaruhinya. Petualangan Gilang di London selama lima hari, bukan lagi hanya demi mengejar Ning, tapi memaknai perasaan terdalamnya. Akankah Gilang sanggup menyatakan cintanya? Lalu bagaimana dengan persahabatan mereka? Akankah semua berakhir bahagia?
--------------------
Saya membaca buku ini karena rekomendasi dua orang. Satu sesama member BBI Joglosemar dan satu lagi cowok yang ngakunya baper abis karena buku ini. Jatuh cinta pada sahabat sendiri, berapa banyak di antara kita yang telah mengalaminya?
Saya sendiri sempat ragu karena sahabat jadi cinta itu bukan saya banget. Tapi toh saya akhirnya tetap terseret juga dalam arus jalinan kisah cinta sendu berlatar London ini.
London merupakan buku keempat seri STPC yang saya baca, setelah Athena, Paris dan Holland. Sejak pertama membuka novel ini saya sudah terpukau dengan gaya Windry Ramadhina dalam menggambarkan settingnya. Luar biasa. Windry menuliskan dengan jelas bukan hanya detail latar tapi juga suasananya. Sesuai dengan judulnya, ini memang tentang London, bukan hanya tentang seorang pemuda kasmaran yang terbang ribuan mil untuk mengejar gadisnya. Saya dibuat takjub dengan pesona kota ini yang dituangkan dengan tepat ke dalam kata-kata oleh Windry.
London diceritakan menggunakan sudut pandang orang pertama dari sisi Gilang. Unik. Nggak banyak novel yang mengambil sudut pandang tokoh pria sepenuhnya sepanjang cerita, dan London adalah salah satunya. Maka saya pun diajak menyelami ceruk perasaan Gilang yang terdalam, rahasia hati yang dipendamnya dan kegalauannya untuk bertindak. Dilema yang dia rasakan terasa kuat dan begitu mempengaruhi saya. Berulang kali saya hampir ingin menjitak atau menendang bokong Gilang, saking gemasnya. Saya memang nggak tahan dengan karakter cowok yang gampang galau dan melow.
Tapi tetap saja saya mengagumi keromantisan dan ketertarikannya pada karya sastra klasik. Gilang juga menjadi sosok yang penuh empati, caranya bercanda terasa hangat dan akrab. Well, dia memang mudah dicintai.
Ada tiga karakter wanita dalam novel ini. Ning, sahabat yang dicintai Gilang, yang membuat Gilang rela jauh-jauh ke London untuk menyatakan cinta. Goldilocks, gadis misterius yang luar biasa cantik dan misterius. Dan ada pula Ayu, gadis Jakarta yang juga menjadi turis di London untuk berburu cetakan pertama Wuthering Height. Di antara ketiga gadis ini, saya justru penasaran pada Goldilocks, justru pertemuan Gilang dengan gadis inilah yang saya nantikan dengan harap cemas. Saya justru merasa Ning tidaklah begitu istimewa, meski Gilang jatuh cinta berat padanya. Di mata saya, chemistry Gilang dan Goldilocks lah yang paling mengena di hati saya.
Selain latar London yang disajikan dengan apik, banyak pula trivia tentang sastra klasik dan seni yang ditebarkan dengan rapi di dalam novel ini. Dan kesan melow tokoh prianya seperti menyatu dengan cuaca London yang sendu. Ditambah lagi dengan temponya yang lambat, menyelesaikan novel ini serasa cukup berat bagi saya. Soo gloomy.
Tapi untungnya side story antara Madge dan John menjadi penyegar yang ampuh. Saya malah menyukai hubungan mereka.
"Menunggu cinta bukan sesuatu yang sia-sia. Menunggu seseorang yang tidak mungkin kembali, itu baru sia-sia." (hlm. 247)
Dari London saya belajar arti melepaskan melalui Madge. Mencintai bukan berarti mengungkung diri. Meratapi dan menutup diri bulanlah wujud rasa cinta. Hanya menyakiti diri sendiri dan menyakiti orang di sekitar kita. Dan London juga mengajarkan arti perjuangan. Nggak ada yang sia-sia bila kita telah berjuang. Meski hasilnya nggak seperti yang kita inginkan, tapi pasti ada harapan dan kebahagiaan setelah kita berjuang.
Overall, saya lumayan terhibur dengan novel ini. Bagi kamu yang suka romance sendu, kisah tentang mencintai seorang sahabat sendiri dan memendamnya bertahun-tahun, dengan latar kota London yang indah, saya sarankan untuk membaca novel ini :)