Pic from google |
Sekali lagi aku melirik cemas pada kain serba putih yang dikenakan putra sulungku. Kain yang melilit tubuhnya itu masih tampak sempurna warnanya. Untuk saat ini. Entah bagaimana nanti setelah kegiatan berlangsung.
Aku nggak akan separno ini kalau kain itu milik kami sendiri, baru jadi masalah karena kain itu hasil meminjam dari tetangga. Ya maklumlah kalau untuk kegiatan yang cuma terjadi setahun sekali begini, aku memang sangat pelit. Bagaimanapun juga prinsip ekonomi harus ditegakkan, bukan? Okesip. Terima kasih untuk yang setuju, yang nggak setuju aku layani perdebatannya lain kali saja.
Kurasakan genggaman putraku mengencang dan sentakannya yang pelan membuatku benar-benar menoleh padanya.
"Kenapa, le?" Entah mengapa aku nggak bisa menanggalkan kata sapaan ini dan tetap menggunakannya di mana pun kami berada. Mungkin aku terlalu nyaman menyebut anak-anakku dengan thole, karena mengingatkanku pada tanah kelahiran.
"Ibu mau pulang atau nungguin sampai selesai?" tanyanya penuh harap.
"Pulang aja ya," sahutku setengah usil.
Bibir putraku langsung membuat cemberutan yang sangat kuhapal. Namun sesuai dugaanku, dia tetap diam dengan penuh gengsi.
Aku mengedarkan pandangan dan menemukan penjual es cincau di bawah pohon tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hmm... tapi ada es cincau enak di sana. Ibu tungguin di sana aja ya," ujarku sambil mengangguk sedikit ke arah penjual es cincau.
Putra sulungku menoleh mengikuti arah yang kutunjuk, lalu menyipitkan mata. "Katanya nggak boleh jajan sembarangan," ucapannya yang separuh polos separuh menyindir itu membuatku tergelak.
"Iya... iya... Kan sekali-kali doang," aku berusaha membela diri. "Atau ibu pulang aja nih?"
"Huh, ibu nggak asyik!" Gerutu putraku kesal.
Aku tertawa sekali lagi, "makanya, jangan banyak protes. Udah sekarang kita cari guru dan kelompokmu dulu deh."
Melihat putraku mengangguk, aku kembali mengedarkan pandangan memilah di antara para orang tua dan anak-anak berpakain putih, mencari keberadaan rombongan dari sekolah putraku.
Pandanganku menemukan apa yang kucari, maka dengan sedikit bergegas kugandeng putraku ke titik kumpul guru dan teman-teman putraku.
"Bu Guru!" Belum sempat aku membuka suara, putraku lebih dulu berteriak dan berlari mendekati sang guru. Tanpa sungkan dia langsung memeluk dan mencium tangan gurunya. Cih, kalau dengan bu guru saja, nggak pakai gengsi segala.
"Selamat pagi, Bu Ina," sapa sang guru saat melihatku mendekat. "Mau ditinggal atau ditunggu nih putranya, Bu?" Tanyanya dengan nada ramah.
"Selamat pagi, Bu. Eng... saya tunggu di sebelah sana saja ya, Bu. Yang adem tempatnya." Jawabku sambil menunjuk ke penjual cincau yang kulihat tadi.
Kualihkan pandanganku dari anggukan dan senyum manis Bu Guru ke arah putraku, "Ibu tinggal dulu ya, Le. Sini mana ciumnya," aku menundukkan badanku sedikit ke arahnya.
Tanpa ragu ia memeluk leherku dan mencium kedua pipiku.
"Ingat pesan Ibu ya," bisikku dengan nada tajam disadis-sadiskan. "Jangan sampai kotor kainnya."
Kali ini giliran ia yang tertawa keras, "Ibuuuu... Ibu udah bilang gitu ratuuuusan kali." Sungutnya setengah geli setengah kesal.
Dih lebay, mana ada aku bilang sampai ratusan kali. Oh, atau bisa jadi memang sebanyak itu? Pikirku mencoba mengingat-ingat. Yasudah, mengalah sajalah pada kata anak kecil ini.
Aku bangkit dan melambai padanya, lalu berbalik dengan mantap menuju bapak-bapak penjual cincau. Kulihat sudah ada seseorang yang sedang duduk di bangku yang disediakan si bapak. Setelah cukup dekat, baru aku sadar aku mengenali sosok ibu muda yang manis itu.
Sedikit ragu karena takut ditolak, kuambil tempat duduk di dekatnya. "Permisi, Mbak Nimas ya?"
Sedikit ragu karena takut ditolak, kuambil tempat duduk di dekatnya. "Permisi, Mbak Nimas ya?"
Dengan kaget ia mengangkat wajah dan menatapku. "Iya benar. Siapa ya?" Raut bingungnya membuatku buru-buru menyodorkan tangan.
"Saya Ina, Mbak. Salah satu pembaca buku Mbak Nimas. Baru saja kemarin saya menyelesaikan baca Impian Demian," cerocosku memperkenalkan diri.
Senyum lebar terbentuk di wajah cantiknya, ia mengulurkan tangan menyambut jabat tanganku. "Oh iya... iya.. Hai, Ina. Sini duduk sini. Wah saya senang lho bisa ketemu pembaca saya." Mbak Nimas membalas dengan keramahan yang membuatku tersentuh.
"Hehe.. Apalagi saya, senang banget bisa ketemu penulis yang novelnya bikin saya merasa nano-nano." Tukasku seraya duduk setelah sebelumnya memberi kode ke bapak penjual es cincau membuat dengan mengacungkan satu telunjuk.
Mbak Nimas terbahak, "Nggak nyangka ya bisa ketemu. Ina dari mana?"
Aku menunjuk ke arah keramaian anak-anak yang sedang mulai bersiap melakukan latihan manasik haji di lapangan. "Mengantar putra saya, Mbak. Mbak Nimas sendiri sedang apa?" Selidikku penuh minat.
"Sama dong. Saya juga nganter putri saya. Daripada saya pulang trus bolak-balik, ya saya tunggu saja di sini."
Aku mengangguk-angguk sepakat. "Kalau gitu, boleh nggak nih saya temenin, Mbak? Pengen ngobrol-ngobrol dikit nih sama Mbak Nimas soal novel."
Ngobrol dikit atau banyak?" Godanya dengan senyum dikulum.
Aku tergelak sambil menerima gelas cincau dari si bapak penjual. Setelah mengucapkan terima kasih, aku kembali menghadap ke Mbak Nimas. "Kalau Mbak Nimas nggak keberatan sih, ada banyak pertanyaan yang ada di benak saya tentang Demian."
"Boleh...boleh.. Silakan aja bertanya. Sambil menunggu anak-anak ini, kita ngobrol-ngobrol aja." Sahutnya dengan ramah.
"Berapa lama sih Mbak waktu yang dibutuhkan Mbak Nimas untuk bikin Impian Demian?" Tembakku langsung saking penasarannya.
Mbak Nimas terlihat sedikit menerawang untuk mengingat-ingat. "Novel itu mulai saya tulis ketika menetap di apartemen di Jakarta, karena seringnya jenuh di dalam apartemen saja, Saya mulai deh nulis lagi, itu sekitar Januari 2017, dan Saya selesaikan pelan-pelan, sampai Agustus 2017, ya sekitar enam bulananlah."
Aku seruput es cincauku seraya mendengarkan dengan saksama. "Hmm.. lumayan cepat juga ya, Mbak. Bagian mana tuh yang menurut Mbak Nimas susah untuk dituliskan?"
"Yang susah? Saya rasa bagian yang menceritakan tentang pekerjaan seorang arsitek, itu butuh riset sendiri. Sama pas editingnya itu, luar biasa melelahkan," Mbak Nimas tergelak riang.
"Kenapa, Mbak? Editornya cerewet kah? Atau nyebelin?"
Mbak Nimas masih tertawa, "umm.. cerewet nggak yaaa.. Coba tebak!" Jawabnya berteka-teki dengan tatapan jenaka.
"Yaaah... Saya nggak pinter tebak-tebakan, Mbak," keluhku sambil menahan senyum melihat ekspresi Mbak Nimas. "Yaudah, ganti pertanyaan deh. Kalau bagian yang bikin seneng nulisnya bagian mana nih, Mbak?"
Mbak Nimas kembali menjawab pertanyaanku dengan serius. "Bagian yang saya suka itu yang menceritakan tentang pabrik kosmetik dan persahabatan Demian dengan Rio dan Dewi, juga flirtingnya sama Alexandra."
"Lhaa... tapi saya malah suka baca flirting ngaconya Demian sama Maura, Mbak," protesku cepat.
"Oh ya?"
Aku mengangguk untuk mempertegas ucapanku, "paling suka malahan. Lucu mereka berdua itu. Gokil bener si Maura. Stres pasti si Demian punya sekretaris kayak dia. Sukurin."
"Kok malah sukurin?" Tanya Mbak Nimas dengan geli.
"Ya abisnya Demian nyebelin sih, Mbak. Pengen ngegaplok jadinya."
Suara tawa Mbak Nimas kembali terdengar. "Gitu ya?"
Sekali lagi aku mengangguk. "Bicara soal Demian, kapan sih Ibu Demian mendirikan Sara Cosmetic? Dan kenapa gitu, Mbak?"
"Jadi gini lho yang melatarbelakangi ibu Demian membangun Sara Cosmetic, itu pertama karena dia punya passion di situ, dia perempuan cantik yang terbiasa bergelut dengan kosmetik dan kebetulan memiliki kemampuan bisnis yang diwarisi dari keluarganya. Dia perempuan yang ulet dan tidak mau hidup susah, apalagi suaminya hanya seorang dosen. Maka dengan kemampuannya dan didukung oleh kemampuan modal sedikit yang ada, ditambah kemampuannya meraih minat investor, maka dia membangun Sara Cosmetic."
Mbak Nimas menyesap es cincaunya sebelum melanjutkan kembali. "Kedua, juga nggak jauh dari sifat suaminya yang kaku dan pemarah, yang membuat batin Sara sedikit gersang sehingga dia melarikan kebahagiaannya dalam bentuk lain, yaitu berkarya. Berdedikasi penuh pada pekerjaannya. Karena suaminya itu, samalah seperti sikapnya ke Demian atau Hilda, kaku dan emosian, juga tidak bisa mengungkapkan perasaan sayang dan perhatiannya dengan benar. Hal mana yang membuat Sara memendam sakit batin dan akhirnya menjadi penyakit kronis juga buatnya."
Mbak Nimas menyesap es cincaunya sebelum melanjutkan kembali. "Kedua, juga nggak jauh dari sifat suaminya yang kaku dan pemarah, yang membuat batin Sara sedikit gersang sehingga dia melarikan kebahagiaannya dalam bentuk lain, yaitu berkarya. Berdedikasi penuh pada pekerjaannya. Karena suaminya itu, samalah seperti sikapnya ke Demian atau Hilda, kaku dan emosian, juga tidak bisa mengungkapkan perasaan sayang dan perhatiannya dengan benar. Hal mana yang membuat Sara memendam sakit batin dan akhirnya menjadi penyakit kronis juga buatnya."
Aku tertegun mendengar jawaban panjang dari Mbak Nimas. "Tapi suaminya sebenarnya cinta banget kan, Mbak?"
Mbak Nimas mengangguk "Raditya sebenarnya sangat mencintai istrinya, hanya saja dia nggak tahu bagaimana harus bersikap dan bagaimana dia harus merefleksikannya. Maka ketika di ambang maut Sara memintanya menikahi Hilda demi kelangsungan perusahaan kosmetik dan demi Demian, dia pun mau saja, meski pernikahan itu membuat Hilda tersiksa. Jadi begitulah sayangkuu... Kira-kira Sara Cosmetic dibangun tak lama setelah Sara menikah dengan Raditya dan Demian masih baby. Itu kisaran tahun 1995."
Mendengar cerita Mbak Nimas, aku melirik sejenak ke lapangan mencari-cari sosok putraku dengan pandangan mataku yang terbatas, lalu menghela napas berat. "Saya menyadari ada beberapa orang tua yang sulit mengekspresikan kasih sayangnya, sama seperti ayah Demian. Menurut Mbak Nimas bisakah sifat seperti itu diubah?"
"Tentang orang tua yang sulit mengekspresikan perasaan ke anak, itu sampai kapanpun sifatnya sama seperti itu. Tapi biasanya menjelang semakin tua, perhatiannya ke anak semakin besar, meski masih terasa kaku nggak bisa mendekat terlalu akrab. Saya bikin karakter itu selalu berdasarkan role model karakter orang-orang sekitar saya, jadi saya perhatikan mereka itu seperti apa, dan di situlah bisa muncul karakter kuat dalam sebuah novel. Jadi bukan sekedar karakter karangan belaka. Ada di kehidupan nyata." Tukasnya dengan nada tegas.
"Iya benar, Mbak. Saya juga banyak melihat yang seperti itu," sahutku menyetujui. "Selain mengamati sekitar, riset apa lagi yang Mbak lakukan untuk novel ini?"
"Banyak. Salah satunya riset tentang pabrik, dan yang penting tentang pekerjaan seorang arsitek. Untung keponakan saya arsitek, jadi bisa tanya tanya ke dia." Mbak Nimas terkekeh pelan di ujung penjelasannya.
Aku tersenyum, "mudah buat ditanya-tanya ya, Mbak. Pantes Demian ini benar-benar kerasa rasa arsiteknya. Nah, kita kan udah tahu nih, apa impian Demian. Kalau Mbak Nimas sendiri apa impiannya?"
Mbak Nimas terdiam sejenak sebelum menjawab dengan senyum lebar, "Impian saya, saya pengin keliling dunia, pengin bikin film, dan kelak novel novel saya difilmkan."
"Huwaa... Amiiiin." Tukasku dengan sungguh-sungguh, berharap benar Mbak Nimas bisa mencapai impiannya juga. "Lanjut nih, Mbak... Harapan buat Demian sendiri apa, Mbak?"
"Berharap Demian jadi arsitek hebat, pabrik kosmetiknya juga sukses, hubungannya dengan Hilda dan Lucia membaik, dan segera nikah sama ****. Harapan yang utama,semoga best seller dan difilmkan. Aamiin.."
Sekali lagi aku mengaminkan doa Mbak Nimas. "Mbak, itu yang di atas itu saya sensor ya namanya. Biar pembaca tetap ada kagetnya nanti pas baca Impian Demian."
"Ooops.. iya. Dibintang aja, atau kasih tiiitt," ujarnya dengan ekspresi lucu.
"Yakalii kayak KPI ngasih tiiit mulu." Sahutku terkekeh. "Kalau Mbak Nimas ini tipe orang tua yang seperti siapa sih?"
"Saya separuh Hilda dan separuh mamahnya Rio, hahahaa.. Ibu-ibu cuek yang nyantai. Tapi nggak secerewet mamah Rio juga sih."
Aku terbahak mengenang kecerewetan mama Rio yang sering membuat Rio dan Demian mati kutu. "Ada yang bilang, seorang penulis akan menuliskan keresahan yang dirasakannya, adakah keresahan yang Mbak tuangkan dalam novel ini?"
"Kalau bisa dibilang keresahan, itu adalah adanya hubungan absurd antara Demian dengan Hilda dan Lucia, ini juga bukan sekadar pemanis cerita tapi memuat keresahan saya sendiri, karena di hidup saya, saya juga punya seorang Hilda, seorang Lucia, begitupun dari keluarga suami. Jadi saya gambarkan betapa rumitnya hubungan seperti ini dalam novel saya."
Ah, saya jadi ingat tentang Lucia, cewek yang mencuri perhatian saya karena kemunculannya yang selalu bikin saya ngelus dada. "Lucia itu sangat menarik perhatian saya, mengagumi abangnya yang dingin, mencoba mengais perhatian abangnya tapi hasilnya selalu nol. Namun rasa sayang dan kagumnya nggak hilang. Saya lihat walau pemalu tapi dia sangat optimis. Mbak Nimas ada rencana buat nulis tentang Lucia nggak untuk nanti ke depannya?" tanyaku dengan antusias.
"Mungkin, bisa saja kan? Insya Allah kalau saya diberi kesempatan, ingin sekali menuliskan tokoh Lucia ini. Dukung yaa..."
"Ooo.. sudah pasti kalau itu, Mbak. Pastilah saya dukung. Semoga karya-karya Mbak Nimas laris manis, dan tercapai semua impiannya." Ujarku dengan penuh semangat.
"Amiiin..." Sahut Mbak Nimas nggak kalah semangatnya.
Kami terdiam sejenak dan sama-sama memandang ke arah kerumunan anak-anak. Menatap buah hati masing-masing dengan harapan yang memenuhi benak. Berharap dengan keterbatasan sifat kami sebagai orang tua, anak-anak tetap yakin dan percaya bahwa kami para orang tua tetap mencintai mereka dengan cara kami sendiri. Berharap mereka tak menyimpan kebencian kepada kami, seperti Demian yang membenci ayahnya. We hope not... :')
Cerita pendek ini dibuat sebagai bagian dari blogtour Impian Demian. Maafkan kemampuan menulis saya yang tak seberapa ini, meski besar harapan saya semoga teman-teman pembaca bisa menikmatinya :)
**** END****
Cerita pendek ini dibuat sebagai bagian dari blogtour Impian Demian. Maafkan kemampuan menulis saya yang tak seberapa ini, meski besar harapan saya semoga teman-teman pembaca bisa menikmatinya :)
4 komentar:
Bagussss loh, wawancaranya menyatu dengan cerita, hehehe
Aaakk~~ makasih, Suliis 😘
baguuuuussssssssssssss sukaaak!!!
Terima kasih, Hani 🙏😊
Posting Komentar