Judul: Love Bites
Penulis: Edith PS
Editor: Veronica B Vonny
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Oktober 2014
Tebal buku: 200 halaman
ISBN: 9786020309446
BLURB
Vania:
“Percayalah, kalau diizinkan memilih, aku ingin menghabiskan sepanjang hariku di sofa, menonton dvd komedi keluarga Modern Family sambil menikmati sundae dan bercengkerama dengan Cherish. Sayangnya...”
Ivan:
“Ini bukan tentang gue mengerti atau tidak soal pekerjaannya, tapi tentang bagaimana seorang suami menjadi sandaran bagi istrinya yang butuh pendengar. Gue ingin bisa diandalkan olehnya.”
Apa yang terbayang saat mendengar fenomena Alpha Wife dan Beta Husband? Tentang bagaimana pernikahan diusahakan ketika terjadi pertukaran peran antara suami dan istri. Tentang dominasi istri—dari segi finansial dan pengambilan keputusan—dan peran baru laki-laki sebagai stay-at-home husband.
Selamat datang di kehidupan Ivan dan Vania. Pasangan muda dengan satu anak perempuan berusia lima tahun, yang dipenuhi beragam dinamika pernikahan kaum urban di era modern: gaya hidup, stigma sosial, kodrat, idealisme, skala prioritas, inferioritas, pelarian... Sampai akhirnya keduanya yang semula mempermasalahkan perbedaan, yang awalnya diyakini menyatukan mereka, mulai saling menyalahkan.
In fact, love is not that blind. It even bites!
RESENSI
Saya tertarik membaca Love Bites karena ide ceritanya yang menarik. Tentang Alpha Wife dan Beta Husband. Bisa dibilang saya akrab dengan isu ini karena beberapa orang yang saya kenal menjalani peran yang sama. Ya, saya mengenal para Alpha Wife dan juga para Beta Husband. Itu sebabnya saya membaca novel ini untuk mencoba membandingkan dunia nyata dan dunia fiktif yang ada dalam genggaman sang penulis.
Love Bites dikisahkan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian antara Ivan dan Vania. Masing-masing mendapat porsi bergiliran satu bab, dengan jumlah halaman yang cenderung singkat. Pace yang cepat dan bab yang singkat, membuat novel ini mudah dibaca tuntas dalam sekali duduk. Setting metropolitannya sangat terasa, mulai dari kesibukan, gaya hidup dan pola pikir para tokohnya.
Bicara soal karakter, sorry to say, I hate them all. Saya nggak suka pada Vania yang tampak egois, nggak bisa dibantah, mengambil keputusan sendiri, menganggap dirinya super dan telah mengorbankan segalanya. Saya tahu karakternya memang dibuat dominan, tapi para alpha wife yang saya tahu nggak pernah sekali pun merendahkan suaminya. Mengeluh ya, tapi nggak pernah mengungkit bahwa uangnyalah yang bicara. Ya ampun kalau hal ini dibalik dan suami saya mengatakan hal-hal jahat yang Vania katakan, saya bisa sakit hati.
Dalam rumah tangga, terlepas siapa yang mencari uang (yang telah diputuskan dari diskusi bersama), nggak tepat rasanya mengungkit uang yang sudah dikeluarkan. Terlebih menimbang pengorbanan siapa yang lebih besar. Ini rumah tangga, bukan perusahaan. Sungguh sakit hati saya membaca novel ini.
Lucunya, saat Vania memberi nasihat pada Kika saat Kika ragu untuk menikah, menurutnya Kika harus berdiskusi dengan Haris. Saya pengin teriak bullshit. Kapan kamu sendiri melakukan diskusi dengan Ivan, Vania? Yang ada Vania bikin keputusan dan Ivan nurut-nurut aja. Bah!
Ivan sendiri juga sama menyebalkannya. Idealismenya terasa konyol. Okelah ia tidak mampu berbisnis, tidak secemerlang Vania, tapi masa sebegitu gegabahnya berbisnis dengan orang tanpa menyelidiki track recordnya? Dan saya menyesal karena si pria yang katanya idealis ini nggak mempertahankan idealismenya. Sebagai penulis, ketika karirnya mentok dan naskahnya ditolak, ia menyerah. Pasrah. Begitu saja. Duh nangis saya bacanya.
Dan yang paling membuat saya sakit hati adalah kejadian yang menimpa Ina, kakak Ivan. Saat Ina muncul, ditampilkan sebagai sosok yang berkebalikan dengan Vania, saya berharap akan mendapat keseimbangan. Bagai dua sisi mata koin. Meski sama-sama pintar dan cemerlang, jalan mereka menerjemahkan arti diri sebagai istri dan ibu begitu berbeda. Namun deskripsi yang dibuat Edith tentang Ina menyakiti hati saya (sumpah alasan saya bukan karena namanya sama dengan saya).
Gue melirik Mbak Ina. Dia memakai daster longgar. Wajahnya berminyak. Kalau gue mencium ketiaknya, mungkin aroma dapur atau paling parah asam cuka yang menguar. Gila! (hlm. 143)
Gosh! Sebel banget saya sama kalimat tersebut. Menyedihkan ya jadi ibu rumah tangga full time? Harus dinilai secara fisik seperti itukah? Dan puncaknya adalah nasib Mbak Ina sang istri yang penuh pengabdian itu dibuat ngenes dan seolah itu salah si istri! Damn!!
Mbak Ina lalu menceritakan alasan Mas Baskoro mengkhianatinya—tanpa kuminta. Dari penjelasannya yang penuh jeda isakan, kusimpulkan bahwa Mas Baskoro selingkuh karena bosan. Tidak ada gairah lagi seperti dulu.
Mbak Ina yang dulu begitu cemerlang, atraktif, kini berubah jadi ibu rumah tangga yang meja riasnya berdebu saking lamanya tak terpakai. Mbak Ina seolah lupa cara berdandan. Sehari-harinya Mbak Ina mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga, yang akrab dengan daster, bumbu masakan, dan lap pel.
Menyambut Mas Baskoro pun tidak ada beda. Sudah sedemikian lama Mas Baskoro menghindari hubungan ranjang. Jangankan Mas Baskoro, aku pun sempat takjub dengan pilihan yang diambil Mbak Ina. (hlm. 171)
Sedih ya? Padahal yang salah kan Baskoro, tapi kesalahan ditimpakan pada istri yang nggak mau merias diri. Jujur saya di rumah juga nggak pakai rias-riasan, meja rias aja nggak punya. Lalu apa suami saya bosan? Apa nilai saya jadi rendah dan layak ditinggal. Oh betapa sempitnya pemikiran Vania.
Dan endingnya.... yah okelah. Asal Vania bahagia. Tendang saja si suami yang nggak berguna. Dan selamat datang pria seksi setampan Hideaki Takizawa.
Hal terbaik dalam novel ini hanya Cherish. Itu saja. Selebihnya, saya nggak related sama novel ini.
0 komentar:
Posting Komentar