Judul buku: Masa Lalu Sang Countess
Judul asli: The Harlot Countess
Penulis: Joanna Shupe
Alih bahasa: Nin Bakdisoemanto
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: Juni 2016
Tebal buku: 426 halaman
ISBN: 978-602-02-8753-9
BLURB
Maggie, Lady Hawkins, memiliki debut yang lebih suka dilupakannya—bersama pernikahan pertamanya. Kini, kartunis politik itu adalah seorang wanita baru. Seorang wanita yang benar-benar modern. Sedemikian modern sampai-sampai khalayak ramai memercayai bahwa dia adalah seorang laki-laki...
FAKTA: Menggambar menggunakan nama samaran laki-laki, Maggie dikenal sebagai Lemarc. Objek favoritnya: Simon Barrett, Earl of Winchester. Pria itu adalah bintang yang baru naik pamor di Parlemen—dan mantan orang yang dipercaya dan dicintai Maggie, tapi memercayai rumor yang sampai detik ini masih menyakitkan bagi Maggie.
FIKSI: Maggie adalah Perempuan Jalang Setengah Irlandia yang merayu suami sahabatnya pada malam pernikahan mereka. Wanita ini harus ditakuti dan dibenci karena dia akan mengangkat roknya kepada lelaki mana pun.
Masih hancur oleh pengkhianatan Simon, Maggie tidak berniat membiarkan seluruh ton menghancurkan dirinya. Malah, kartun Lemarc telah membuat Simon menjadi bahan tertawaan ... tapi sekarang sepertinya Maggie mungkin telah salah mengenai apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu, dan bahwa Simon diam-diam merindukan dirinya sejak ... lama sekali. Mungkinkah pada akhirnya hati lebih kuat daripada pena dan pedang?
RESENSI
Disakiti oleh seseorang yang pernah kita cintai, tentunya sungguh menyesakkan. Membuat hati dipenuhi oleh amarah dan dendam. Maggie mengubah rasa dendam itu menjadi sesuatu yang produktif, yang bisa membuatnya puas: membuat karikatur tentang Simon Barret, Earl of Winchester. Karikatur Winejester yang mengolok-olok Simon, dan menjadi perbincangan panas di kalangan atas. Tak ada yang akan mencurigai Maggie karena ia menggunakan nama samaran laki-laki, Lemarc.
Novel ini dibuka dengan adegan pertemuan kembali antara Simon dan Maggie setelah perpisahan mereka yang menyakitkan sepuluh tahun lalu. Pertemuan yang menunjukkan kepada pembaca bahwa ternyata mereka masih punya perasaan mendamba terhadap satu sama lain. Dari sisi Maggie, sebenarnya jelas, bagaimanapun ia tetap melukis Simon walau dalam bentuk olok-olok. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya ia tak bisa melepas ingatan akan Simon.
Sebenarnya, premis cinta lama bersemi kembali dan dendam asmara selalu menarik minat baca saya, terutama jika berbau-bau skandal. Ini sebabnya saya langsung bersemangat untuk menuntaskan novel ini begitu membuka halaman pertamanya.
The Harlot Countess pada awalnya bersetting di London pada tahun 1819. Isu politik yang diangkat dalam novel ini adalah tentang hak wanita korban perkosaan. Simon sendiri merupakan bagian dari Parlemen yang cukup disegani, tentu saja kedudukan ini diperoleh secara turun temurun dalam sejarah keluarganya. Ia meneruskan jejak para pendahulunya untuk menjadi bagian dari Parlemen, walau tetap saja, ia telah bekerja keras membangun sekutu untuk membuatnya disegani. Hingga muncullah karikatur Winejester yang menjadi olok-olok bagi sosok Simon. Meskipun justru kartun itu malah semakin meningkatkan pamornya.
Simon sendiri di depan dan di belakang Maggie sungguh sangat bertolak belakang. Mungkin memang benar, jika pria sudah cemburu buta, ia akan bersikap sangat tolol. Banget. Sepanjang kisah ini, saya cukup jengkel dengan asumsi-asumsi dan penghakiman yang dibuat oleh Simon terhadap Maggie. Sungguh, dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk tetap diam menerima tuduhan itu dan menghitung kapan waktu terbaik menjatuhkan bom untuk menyadarkan si dungu Simon.
Maggie menjadi representasi kaum wanita di era tersebut yang masih kesulitan untuk melawan kaum pria. Meskipun sama-sama berstatus bangsawan, nyatanya toh khalayak tetap mempercayai para pria. Seandainya ada perempuan yang muncul dari kegelapan dengan pakaian terkoyak, wanitalah yang disalahkan. Wanitalah yang dianggap penggoda dan pelacur. Sungguh saya mengagumi kekuatan diri Maggie untuk tetap berdiri tegak saat tudingan-tudingan diarahkan padanya, saat kalangan atas mengucilkannya, saat lelaki yang ia percaya akan membelanya ternyata ikut berpaling. Maggie mampu menghadapi segala sakit hati itu selama sepuluh tahun dan produktif. Sungguh saya jatuh cinta pada ketabahan dan kekuatannya.
Walau mungkin agak disayangkan, setelah ia menjanda dan bertemu kembali dengan Simon, ia dengan mudahnya takluk kembali pada pesona Simon. Beberapa wanita mungkin akan menganggap Simon tak layak mendapatkan maaf, dan betapa murahannya Maggie karena mudah melompat ke ranjang Simon. Well, saya sendiri sebenarnya maklum. Hahaha... sebagai seorang janda yang pernikahannya kering akan cinta, dan betapa ia masih mencintai Simon, saya maafkan kalau seandainya Maggie memang jadi bitchy saat bersama Simon.
Lagi pula, dari sudut pandang Simon, saya sudah menangkap penderitaannya. Simon masih terlihat tergila-gila dan posesif hingga rasanya menyakitkan terhadap Maggie.
Saya sangat menikmati membaca novel ini, narasi, deskripsi, dialog dan chemistry-nya pas banget. Konfliknya juga cukup seru dan menegangkan. Adegan ranjangnya bertebaran dengan penerjemahan yang cukup bagus. Sepertinya saya bakal memasukkan nama Joanna Shupe sebagai penulis historical romance yang layak dibaca.
0 komentar:
Posting Komentar