Judul buku: Topi Hamdan
Penulis: Auni Fa
Editor: Iswan Heriadjie
Desain sampul dan isi: Prasetyo
Penerbit: Metamind
Tahun terbit: November 2017
Tebal buku: 346 halaman
ISBN: 978-602-9251-40-1
BLURB
Inilah kisah tentang Hamdan, laki-laki sederhana yang berulang kali dihantam prahara.
Kehidupannya kacau ketika sang ibu meninggal. Mulai putus sekolah, sampai dipaksa bekerja untuk
menghidupi ayah serta adik tiri yang pendengki dan berkelakuan buruk. Menjelang dewasa, masalah tak
kunjung pergi dari hidupnya. Sebuah fitnah besar akhirnya menggiring Hamdan ke balik terali besi.
Ia jatuh, terpuruk, nyaris tak kuat menahan perih hidup. Namun, suatu ketika ia teringat akan
dongeng-dongeng ibunya. Dongeng yang diceritakan semasa ia kecil, ternyata menyimpan
kebijaksanaan dan kekuatan dalam setiap kisahnya. Dongeng itu mampu membangkitkan lagi keteguhan
hati Hamdan yang hampir tenggelam.
Di sini, akan Anda temukan bentuk cinta kasih ibu dan caranya memberi pelajaran hidup kepada
sang anak melalui dongeng-dongeng yang menakjubkan. Genggam buku ini dan temukan hikmah yang
tersembunyi dari setiap lembarannya.
RESENSI
Topi Hamdan adalah sebuah kisah kesabaran yang paling bikin saya ngelus dada berulang-ulang. Bisa dibilang Auni Fa cukup 'kejam' dalam merangkai kisah hidup Hamdan. Kejadian-kejadian yang menguji Hamdan sungguhlah sangat luar biasa, membuat saya lumayan gregetan karena Hamdan tak benar-benar berusaha melawan. Saya juga sempat bertanya-tanya bagaimana mungkin tak ada kebaikan sekecil pun dari orang-orang di sekitarnya.
Sumber kebahagiaan dan kekuatan Hamdan adalah dongeng-dongeng yang pernah diceritakan almarhumah ibunya. Itulah yang mampu membuat Hamdan bertahan dan bersabar menjalani prahara kehidupannya. Dongeng-dongeng yang diceritakan dalam buku ini memang sangat menarik, dan memberikan hikmah yang bijak. Sayang Hamdan terkesan sangat pasrah di usia mudanya.
Sungguh berat membayangkan kesendirian dan kesepian yang harus dialaminya. Hingga secercah kebaikan itu muncul. Walau sedikit tapi ada. Meski tetap saja jalan yang harus dihadapi Hamdan masih berliku. Padahal usianya telah menginjak angka 70-an, tapi buah kesabaran Hamdan belum kunjung tiba.
Ini adalah kisah yang hampir menguras kesabaran saya, hampir membuat saya frustasi karena sedikitnya kebaikan dan belas kasih dari orang lain. Namun itulah yang membuat Hamdan menghargai persahabatannya dengan Amir dan Paino. Setelah diterjang beragam prahara, pertemuannya dengan sesama orang tua dan Melisa bagai oase.
Cukup menarik juga melihat Hamdan yang telah bertahun-tahun pasrah dan sabar, ternyata bisa melakukan tindakan (walau tetap kurang bijak) demi Melisa.
Walau ada beberapa lubang dalam konstruksi ceritanya, namun alur kisahnya cukup menarik diikuti. Hanya saja untuk dialog masih terasa kurang hidup, belum terlalu menyatu dengan sosok Hamdan. Penokohannya lumayan berkarakter. Hamdan jelas-jelas lugu dan pasrah, mudah dibodohi dan penakut. Kedua sahabat barunya juga kurang lebih apatis terhadap hidup. Melisa lumayan memberi warna bagi kisah ini walau akhirnya menjadi labil.
Pada akhirnya saya menganggap kisah ini adalah kisah yang mengajarkan kita untuk bersabar. Namun sabar pasti ada batasnya, dan kita harus mengambil tindakan. Kalau kita tetap pasrah pada keadaan, tanpa melawan atau membuktikan jika kita benar... mungkin kita akan berakhir seperti Hamdan. Masih untung Hamdan menemukan kebahagian (saya bicara tentang persahabatan dan kehangatan cinta—dan bukan tentang harta) walau sebentar.
0 komentar:
Posting Komentar