Judul buku: Love Fate
Penulis: Sari Agustia
Editor: Pradita Seti Rahayu
Penerbit: Elexmedia Komputindo
Tahun terbit: April 2015
Tebal buku: 240 halaman
ISBN: 978-602-02-6007-6
BLURB
Kata orang, pernikahan yang kupunya ini sempurna.
Karier kami sama-sama menanjak. Sejak dua tahun lalu, kami mulai tinggal di rumah sendiri. Tak hanya itu, kami pun membekali diri kami masing-masing sebuah mobil untuk bepergian setiap harinya. Oh ya, kami juga punya dana untuk travelling keluar negeri — setidaknya sekali dalam setahun — dan berkunjung ke rumah Ambu di Bandung atau rumah Bapak serta Ibu Mertuaku di Malang.
Hanya satu yang sebenarnya menggangu: keturunan. Lima tahun bahtera ini berjalan, belum juga hadir si buah hati.
Kami tak pernah menunda. Tak pernah juga mempermasalahkannya. Dan... tak pernah juga membicarakannya.
Bagaimana ini...
Suamiku sebenarnya mau punya anak atau tidak?
Yang ke dokter hanya aku. Yang mau adopsi hanya aku. Masa hanya aku saja yang berusaha?
RESENSI
Pernikahan Tessa Febriana Sasmita dan Bhas telah berjalan selama lima tahun, kehidupan pernikahan mereka tampak sempurna dari luar. Komitmen mereka terhadap pekerjaan membuat mereka hidup mapan. Meski belum juga memiliki momongan mereka tetap santai dan tak menyinggungnya satu sama lain.
Namun kepercayaan diri Tessa berubah sejak pulang ke Malang dan menghadiri pernikahan Indah, adik perempuan Bhas. Cecaran pertanyaan dari keluarga besar tentang anak, juga sindiran Ibu Mertua yang tak ada habisnya, membuat Tessa berpikir ulang. Apalagi tak lama kemudian Indah hamil.
Tessa memutuskan untuk mendatangi ahli kesuburan. Sayang Bhas menolak ikut dan membiarkan Tessa berjuang sendirian. Tekad Tessa pun semakin kuat saat bertemu dengan Kanti, cleaning service kantor yang tengah hamil. Keadaan memaksa Kanti untuk menyerahkan bayinya kepada orang lain jika lahir nanti.
Hingga Tessa dinyatakan hamil setelah beberapa kali berobat, kebahagiaan itu membuat Tessa bersemangat. Namun di usia dua bulan, bayinya berhenti tumbuh dan terpaksa harus dibersihkan. Sedih, terpukul dan merasa bersalah... Tessa memutuskan ingin mengadopsi bayi Kanti. Namun keinginannya ditentang sang suami.
Akankah Tessa kembali menemukan kebahagiaannya dan menimang seorang bayi? Apakah kebahagiaan pernikahan harus selalu tergenapi oleh kehadiran tangis bayi?
---------
Saya sudah cukup lama juga ngidam novel ini. Bagi saya lini Le Mariage dari Elexmedia benar-benar menggelitik rasa penasaran saya. Bukan hanya karena covernya yang selalu imut dan unyu (saya tahu, saya memang paling lemah dengan cover cantik), tapi juga karena ide ceritanya selalu menarik.
Problema pernikahan memang ada saja, banyak hal bisa digali dari kehidupan dua insan yang telah berkomitmen bersama. Dan siapa bilang pernikahan adalah akhir bahagia selamanya? Justru pernikahan adalah gerbang ribuan cerita romantisme dan perjuangan.
Dalam Love Fate, perjuangan itu mewujud dalam diri Tessa yang berjuang ingin memiliki anak. Namun separuh perjuangannya, harus ia usahakan sendiri. Hanya Ambu yang mendukungnya, sementara Bhas lebih ogah-ogahan dan Ibu Mertua selalu nyinyir dan memaksa.
Saya cukup prihatin. Seberapa banyak wanita seperti Tessa di dunia ini? Jika kehidupan pernikahan tidak segera dikaruniai buah hati, mengapa wanita yang selalu disalahkan? Mengapa wanita yang dianggap gagal?
Love Fate dikisahkan melalui sudut pandang orang pertama, yaitu sudut pandang Tessa. Ada dua bab yang memuat sudut pandang Bhas.. yang bagi saya terasa sebagai pembelaan diri.
Sayang novel berpremis menjanjikan ini nggak sesuai harapan saya. Terlalu banyak narasi yang bertele-tele. Narasinya sering melebar ke mana-mana, terutama saat Tessa menuju Malang, saya merasa seolah sedang membaca jurnal perjalanan.
Sampai bab 6, cerita masih membosankan karena masih penuh bla bla bla... penjelasan tetek bengek prosesi pernikahan. Namun di bab tujuh, alur mulai menarik. Konflik mulai beriak dan menambah tempo.
Membaca novel ini, dari awal saya sudah menyadari ketidakberesan yang dialami Tessa dan Bhas. Hubungan mereka seolah berjarak, monoton dan datar. Kurang komunikatif. Padahal kunci keberhasilan keluarga adalah komunikasi. Bukan hanya diam bukan hanya memendam. Ini yang bahaya. Bhas juga terlalu menjaga perasaan ibunya dan nggak pernah terang-terangan membela Tessa.
Sebenarnya saya bingung karena saya menemukan rasa sebal sekaligus sayang pada novel ini. Huhuhuu...
Di satu sisi saya senang novel ini hadir dengan segala narasi panjangnya tentang permasalahan kehamilan. Bahwa novel ini menyorot tentang merokok bisa menurunkan kualitas organ reproduksi, tentang kehidupan anak-anak panti asuhan yang mestinya layak mendapatkan kasih sayang, juga tentang rasa cinta dan hormat pada orang tua. Saya salut dengan hal itu. Novel ini cocok dibaca sebagai gambaran kehidupan perkawinan.
Tapi di sisi lain ada keegoisan manusia yang kental. Keegoisan seorang suami, dan keegoisan Ibu Mertua yang haduuuh... amit-amit untung Ibu Mertua saya nggak seperti ini.
Lalu kekesalan saya memuncak di endingnya. Yaah... semua orang berhak menentukan jalannya. Saya tahu ending ini logis dan jamak terjadi di dunia nyata. Tapi inikah jawaban dari segala perjuangan Tessa? Lalu apa yang diharapakan dari pembaca setelah membaca novel ini? Kemandirian mungkin.
Yang jelas saya harap wanita mana pun yang tengah berjuang mendapatkan buah hati, jangan sampai merasa hancur. Karena wanita yang berjuang layak didukung dan dicintai.
0 komentar:
Posting Komentar