Judul buku: Langit untuk Luna
Penulis: Irena Tjiunata
Desain & ilustrasi sampul: eMTe
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Desember 2013
Tebal buku: 344 halaman
ISBN: 978-602-03-0097-9
BLURB
Luna Aurora sepertinya sudah punya segalanya. Otak yang cerdas sehingga bisa masuk kelas akselerasi, keluarga dengan ekonomi berkecukupan, teman-teman yang ceria dan setia, plus pacar superkeren, Surya Dhanasaputra.
Luna merasa hidupnya sangat sempurna.
Sampai kemudian perusahaan keluarganya menghadapi masalah serius. Lalu Surya berubah jadi cowok yang tidak dia kenal lagi. Sementara Angkasa Raya, cowok lain yang semula tidak dia kenal, berubah menjadi sosok yang sangat memahami dirinya.
RESENSI
Sebagai siswa kelas akselerasi, Luna benar-benar sangat sibuk. Masa remajanya hanya dihabiskan dengan mengerjakan tugas dan belajar. Meski ia punya pacar, tapi sang kekasih, Surya, juga sama-sama siswa kelas akselerasi yang menuntut Luna untuk selalu belajar dan tidak membuang-buang waktu untuk bermain, apalagi dengan temannya, Fay, yang merupakan siswa kelas reguler.
Namun dunia Luna yang teratur dan monoton mulai berguncang saat Angkasa Raya muncul. Cowok itu memberi warna bagi hidup Luna, mengenalkan dunia yang bebas untuk menentukan pilihan sesuai hati nurani. Dan bersamaan dengan itu, sifat asli Surya semakin terlihat. Luna mulai tak nyaman bersama Surya.
Namun benarkah keputusan yang diambil Luna? Apakah dia bisa bebas menentukan keinginan hatinya, meski itu melukai orang-orang yang meletakkan harapan di bahunya?
-------------------
Langit untuk Luna adalah novel teenlit karya Irena Tjiunata yang pertama kali saya baca. Jadi ini semacam uji coba untung-untungan, apakah saya bakal suka dengan novel ini. Karena saya sama sekali belum mengenal nama penulis yang satu ini. Tapi yang jelas, saya tertarik untuk membaca novel ini karena judulnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan terdengar puitis. Apalagi setelah membaca blurbnya saya yakin Langit untuk Luna punya makna yang lebih mendalam.
Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dan terfokus pada Luna. Segala hal diceritakan dari sisi Luna, baik itu keresahan maupun perasaan-perasaan terdalamnya. Sayang sekali karena saya menanti-nanti curahan perasaan yang lebih mendalam dari tokoh lain dalam novel ini, terutama Angkasa.
Gaya bertutur Irena Tjiunata sangat santai dan sangat remaja, membuat seolah saya sedang membaca catatan harian seorang remaja. Lincah, dengan bahasa pergaulan remaja urban dan nggak baku. Terasa pop banget dan sebenarnya bukan gaya bercerita yang saya sukai. Tapi toh saya masih bisa menikmatinya.
Konfliknya sangat menarik. Irena Tjiunata mencoba memotret sistem pendidikan di masyarakat urban yang salah kaprah. Bagaimana sekolah hanya menuntut siswanya untuk mencapai nilai dan level tertentu. Bagaimana orangtua membuat tuntutan tak masuk akal tanpa memperhatikan keinginan anak. Belajar tentulah hal yang baik, tapi esensi belajar adalah agar anak memperoleh ilmu, bukan nilai. Berprestasi tentu membuat orangtua dan anak sangat bangga, tapi bekerja sama lebih baik daripada bersaing. Apalagi persaingan nggak sehat yang membuat anak menjadi merasa ada di kelas tertentu dan jadi angkuh. Seperti Surya.
Duh cukup deh, anak kayak Surya itu cukuplah ada di novel saja. Amit-amit jangan sampai ada anak model begitu di dunia nyata. Sudah sok pintar, sombong, bossy, tukang bully pula. Ngeri banget, deh.
Dan jujur karakter dalam novel ini annoying banget. Surya jelaslah super menyebalkan. Murid-murid kelas akselerasi yang bikin saya geleng-geleng. Katanya pintar, tapi nurut-nurut aja sama Surya. Omong kosong kalau dibilang mereka takut cari gara-gara dengan Surya hanya karena Surya anak dari keluarga paling berpengaruh di sekolah maupun di jagad bisnis. Saya merasa alurnya jadi seperti alur ala-ala drama korea. Malah ada karakter yang hobi ngomong pakai bahasa korea. Duh, nak, ini masih di Indonesia, lho. Adegan-adegannya juga lumayan berlebihan dan drama banget.
Saya merasa aneh ketika kepala sekolah memanggil Jane dan memberi tahu Jane bahwa dia akan didegradasi. Ini bukan kabar yang bisa disampaikan kepala sekolah hanya kepada sang murid. Harus ada orangtua si murid di pertemuan itu. Agar orangtua, siswa dan guru bisa mencari jalan mengupayakan supaya si murid tetap bertahan, atau kalau memang nggak ada jalan ya memang harus degradasi. Tiba di adegan ini saya mulai merasa terganggu dengab sang kepala sekolah. Saya sampai berpikir, sekolah macam apaaaa ini sih? Laporin ke Pak Anies Baswedan aja gimana? *eh udah ganti yak menterinya ^^*
Namun untuk ukuran novel remaja, Langit untuk Luna lumayan manis dan asyik diikuti. Mungkin kalau saya membaca novel ini saat saya berusia tigabelas atau empatbelas tahun, saya bakal terpesona pada Angkasa Raya. Karena semua sifat dan perhatiannya pada Luna. Bisa bikin lagu coba. Keren kan?
Tapi mungkin karena jiwa saya sudah menua, saya jadi nggak mempan digombalin Angkasa. Hahaha...
Tapi secara keseluruhan, novel ini cukup seru, bikin saya berpikir sebagai orangtua, sudahkah saya membuat anak saya nyaman dalam belajar dan mengeksplorasi bakat-bakat mereka? Apalagi di akhir kisah, ada cara untuk mengenali kecerdasan majemuk yang dimiliki seorang anak. Dan pastinya ada cerita pendek sebagai bonus yang cukup seru. Nice story.
1 komentar:
boleh minta foto pembatasnya gak? tolong bantuannya ya......butuh banget nih....
Posting Komentar