Judul: Perfect Wedding
Penulis: Putu Felisia, Catz Link Tristan, Achi Narahashi
Desainer kover: Chyntya Yanetha
Penerbit: Grasindo
Tahun terbit: Februari 2015
Tebal buku: 220 halaman
ISBN: 9786022518921
BLURB
Julia
“Kenapa kamu terima lamarannya?"
"Karena dia sesuai dengan gambamn pria ideal gang selalu kita impikan. Kaya, tampan, mapan, baik, dan tidak pernah terlihat menggandeng banyak pacar."
“Dia mengatakan perasaannya padamu?"
Aku kembali menggeleng.
“Dia pernah menciummu?"
"Dia pernah memelukku... Oh! Dan berpegangan tangan saat foto prewed."
"Astaga, J..."
Meisha
“Aku nggak tahu kenapa orang-orang masih ingin menikah. Mengetahui persiapannya saja sudah membuatku gila.""
“Serius, kamu benar-benar nggak tahu? Kamu perlu nikah karena kamu bisa ‘having fun' sepuasnya tanpa harus takut dosa!" well, mungkin itu salah satu keuntungan pernikahan.
Tapi menukarkan kebebasanku hanga untuk itu? Oh, tidak! Setidaknya aku memang, belum siap untuk itu.
Octa
"Sebenernya menikah itu untuk apa? Aku selalu berpikir, pernikaham itu hanya tanda tangan di atas kertas perjanjian. Laki-laki memberi nafkah. Perempuan melayani seumur hidupnya. Mungkin akan ada hal-hal lain di dalam perjanjian itu. Aku tak tahu, tapi... dengan semua yang terjadi, aku... "
RESENSI
Novel ini mempunyai konsep yang unik. Kisah tentang sebuah pernikahan yang dipandang dari tiga sisi yang berbeda oleh tiga wanita. Siapa bilang pernikahan adalah impian semua wanita, kadang ada beberapa wanita yang punya prinsip berbeda tentang pernikahan dan ada yang terbelenggu sebuah masa lalu sehingga gamang untuk melangkah ke dalam pernikahan. Dengan kover yang cantik minta ampun ini, tiga penulis: Putu Felisia, Catz Link Tristan dan Achi Narahashi merangkai tiga buah kisah.
Novel ini dawali dengan kisah tentang J atau Julia karya Catz Link Tristan. Dengan sudut pandang orang pertama yaitu dari sisi Julia, saya dijejali dengan keluh kesah si calon penganti wanita ini.
Kisahnya lumayan membosankan karena gaya bertuturnya lebih condong pada telling dan bukannya showing. Jadi saya pasrah-pasrah aja membaca uraian Julia tanpa bisa merasakan hal yang dirasakan si tokoh utama ini. Apalagi saya sama sekali nggak merasakan chemistry baik antara Julia dengan Dixon maupun Julia dengan Josh.
Detail pekerjaan tokohnya pun kurang jelas. Masak sih Julia sebagai sekretaris nggak ada kerjaan lain selain antar kopi, antar koran dan melamun? Ini sekretaris apa office girl?
Julia digambarkan sebagai karakter yang menyepelekan pernikahan. Bagi dia yang penting ada pria sempurna yang melamar, urusan cinta bisa dipupuk belakangan. Tapi, ternyata dia nggak berusaha untuk berkomunikasi. Saya jadi bertanya-tanya juga, umur Julia ini berapa sih? Kok masih kayak anak kecil. Ceroboh sih nggak masalah, tapi milih calon pasangan nikah kayak milih kue. Helloooo... ini perkara orang yang bakal menemani seumur hidup, lho. Main terima aja hanya karena ganteng, mapan dan baik.
Pesan yang disampaikan mama bagus tuh, bahwa untuk masuk ke hubungan pernikahan harus ada komunikasi. Saling menghargai juga.
Yang saya dapatkan di sini adalah seorang karakter utama perempuan yang belum matang pikirannya yang menganggap pernikahan hanyalah tentang persiapan pesta dan perayaan kemudian tergoda pria dari masa lalu, tapi menganggap dirinya bakal jadi istri yang sempurna. Tanpa mau menggali masa lalu, kecocokan dan rencana masa depan dengan pasangan. Huffft....
Kisah yang kedua adalah kisah Mei karya Achi Narahashi. Kisah ini pun menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu dari sisi Mei. Namun berbeda dengan kisah sebelumnya yang adegannya ditampilkan dalam narasi, di kisah ini lebih berimbang dalam hal narasi dan dialog. Meskipun dialog yang muncul adalah dialog yang terlihat nggak natural.
Mungkin karena keterbatasan halaman, tokoh utamanya jadi terlihat berusaha menonjolkan karakternya. Mei yang sexy, free and single. Yang biasa menaklukkan cowok-cowok namun tanpa landasan yang kuat. Apakah memang sifatnya begitu, ataukah itu hanya di permukaan saja, entahlah.
Dan yang saya sayangkan, karakter Mei yang playfull ini nggak kelihatan di kisah sebelumnya, atau di kisah J. Seolah Mei yang saya baca di sini bukanlah Mei yang ada di awal.
Lalu lagi-lagi konfliknya klise dan mudah ditebak. Eksekusinya lumayan sih, tapi flat saja bagi saya.
Yang terakhir adalah kisah Octa karya Putu Felisia. Bagi saya, ini kisah yang plotnya paling rapi dan karakter tokohnya lebih bulat. Cara bertuturnya enak dan pilihan katanya juga lebih kaya.
Saya suka bagaimana saya dibuat bertanya-tanya dan berusaha menggabungkan kepingan informasi yang diberikan sepotong demi sepotong dengan sabar oleh si penulis. Rasa putus asa dan kemandirian Octa tertangkap jelas oleh saya tanpa usaha berlebihan.
Bahkan cara Putu Felisia memainkan perasaan saya pun sangat stabil. Putu Felisia tetap berimbang memberi kesempatan pada kedua tokoh pria, hingga sampai lembar-lembar terakhir saya masih belum bisa menebak siapa yang akan dipilih Octa.
Karakternya penuh, emosinya kuat, chemistrynya bagus. Kisahnya dipekuat dengan narasi yang kaya informasi terutama budaya India. Adegan romantismenya dapet banget dan nggak kacangan.
Untunglah cerita ini adalah cerita penutup sehingga bisa menutup lubang kekecewaan saya yang sempat menganga karena dua kisah sebelumnya.
0 komentar:
Posting Komentar