Judul buku: Tiga Sandera Terakhir
Penulis: Brahmanto Anindito
Penyunting: Hermawan Aksan, Miranda Harlan
Penata aksara: Aksin Makruf
Desainer sampul: Oesman
Penerbit: Noura Books
Tahun terbit: Mei 2015
Tebal buku: 316 halaman
ISBN: 9786020989471
BLURB
Penyanderaan brutal terjadi di sebuah desa di Papua. Korbannya lima orang—warga negara Indonesia, Australia, dan Perancis. Semua telunjuk segera mengarah ke OPM, Organisasi Papua Merdeka. Namun, OPM sendiri menyangkalnya. Mereka menegaskan bahwa pihaknya sudah lama tidak menggunakan cara-cara ekstrem seperti itu, demi perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
Lantas, siapa dalang penyanderaan itu? TNI enggan berteka-teki terlalu lama. Satuan Antiteror Kopassus di bawah pimpinan Kolonel Larung Nusa segera diturunkan ke Bumi Cenderawasih. Tapi, malang tak bisa ditolak. Korban malah berjatuhan, baik di pihak sandera maupun anggota Kopassus. Salah seorang anggota bahkan dinyatakan hilang secara misterius di belantara Papua.
Kolonel Nusa mulai menyadari bahwa lawannya ini bukan sekadar milisi OPM. Melainkan pasukan khusus seperti dirinya.
RESENSI
Lima orang turis diculik dan disandera oleh sekumpulan orang-orang asli Papua yang mengaku sebagai bagian dari OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kelima orang tersebut terdiri atas dua turis domestik dan tiga turis asing. Keinginan para penyandera hanya satu, jika ingin sandera selamat maka Papua harus diberi kemerdekaan.
Maka dikirimlah Kolonel Inf. Larung Nusa yang baru saja menjabat sebagai Komandan Gultor. Suatu pengangkatan yang penuh kontroversi karena Larung Nusa sendiri adalah menantu dari Menteri Pertahanan RI.
Demi membuktikan diri, Larung Nusa berusaha sebaik mungkin memimpin operasi pembebasan para sandera. Tapi sebisa mungkin ia ingin mengupayakan jalur negosiasi. Sayang pihak penyandera memilih jalan lain. Ketika seorang sandera ditemukan tewas, maka Larung Nusa pun mulai memimpin operasi penyerbuan.
Sayang penyerbuan itu memakan korba dari pasukan Larung Nusa. Seorang anggota meninggal, dan seorang lagi hilang. Larung Nusa pun mendapat hukuman skors.
Tapi ternyata, itu baru awal. Ada sesuatu yang lebih besar yang mengincar keamanan NKRI. Larung Nusa harus membuat pilihan, apakah bersedia membentuk pasukan hantu dan merekrut mantan anggota TNI sebagai anggota tim, atau memilih kembali ke Jakarta.
Bisakah Larung Nusa menyibak siapa dalang dibalik penyanderaan ini dan menemukan tiga sandera terakhir?
------------------------------
Membaca novel thriller selalu menjadi keasyikan tersendiri jika saya mulai jenuh dengan kisah romance. Itulah mengapa saya memilih membaca novel Tiga Sandera Terakhir karya Brahmanto Anindito ini. Pilihan yang ternyata sangat tepat karena mood baca saya yang tadinya mpot-mpotan bisa balik bergairah lagi. Hahah...
Tiga Sandera Terakhir merupakan novel thriller militer yang menghadirkan tema ketegangan tiada usai antara Indonesia dan Papua. Kita tahu bahwa OPM merupakan organisasi yang nyata yang mempunyai tuntutan untuk merdeka dan melepaskan diri dari Indonesia. Sebagai kisah usang namun juga selalu hangat, tema ini memang sangat menarik jika disajikan dalam sebuah kisah fiksi.
Dan meski tokoh utama serta kisahnya hanya fiksi, Tiga Sandera Terakhir terasa nyata senyata-nyatanya. Konstruksi ceritanya dibangun dengan penuh detail—termasuk detail sejarah dan budaya—juga plotnya ditulis dengan sangat rapi. Gaya bertutur Brahmanto Anindito mengalir dan enak dibaca.
Walau lumayan membosankan di awal kisah, tapi saya dibuat takjub dengan strategi yang dirancang Kolonel Larung Nusa. Ketegangan di paruh awal memang rada ngeselin. Beberapa kali para sandera membantah dan seolah cari mati. Saya sampai geregetan karena takut satu salah ucap saja bisa bikin para penyandera itu murka dan membunuh mereka.
Bagian seru baru muncul saat operasi pembebasan sandera dimulai. Lumayan menegangkan dan bikin saya nggak bisa berhenti baca. Mulai dari situ hingga ke pembentukan pasukan hantu, saya sudah nggak bisa lagi berpaling dari novel ini. Ikut kesal waktu Larung Nusa diskors, dan merasakan antusiasme saat Larung Nusa mengumpulkan kru bagi pasukan hantunya. Suasana jadi lebih cair karena anggota pasukannya adalah mantan anggota militer. Bedanya kerasa banget antara operasi pembebasan sandera yang dilakukan tim gultor pimpinan Larung Nusa, dengan operasi penyerbuan dalang penyanderaan yang dilakukan oleh pasukan hantu.
Mungkin seperti yang telah disinggung di awal novel, bahwa prajurit bekerja sesuai perintah atasan, jadi hubungan mereka terasa kaku dan kurang akrab karena seolah masih ada garis hierarki. Namun bersama pasukan hantunya, Larung Nusa bisa bersikap santai dan saling bercanda. Itu sebabnya paruh akhir kisah ini sangaaaaaaat menarik diikuti.
Dialognya lebih seru, kocak dan sedikit mengendurkan ketegangan. Juga joke tentang sepakbola itu masuk ke dalam cerita dengan mulus banget dan bagi saya sangat cerdas. Yap, sepakbola bisa menyatukan Indonesia ternyata.
Aksi di paruh akhirnya benar-benar tegang mampus. Kayak nggak diberi jeda untuk bernapas. Detail adu senjata dan adu tangan kosongnya keren. Tokohnya dibuat jatuh bangun dan berjuang dengan usaha yang keras. Benar-benar kayak lagi nonton film laga. Saya suka dengan novel thriller yang musuhnya sulit dikalahkan, jadi biar endingnya bisa benar-benar nyeeees.
Yang saya suka adalah kentalnya logat dalam dialog yang dipakai para tokoh novel ini. Beberapa tokoh tampil dengan identitas daerahnya. Para pasukan OPM dan orang asli papua menggunakan logat khas mereka, kemudian anggota tim Larung Nusa juga ada yang menggunakan bahasa jawa, sang danjen juga menampilkan bahasa lo-gue. Semua membuat novel ini terasa berwarna dan terasa Indonesia banget.
Hanya saja saya merasa bakal lebih nikmat jika keterangan tentang istilah atau penerjemahan bahasa bukan dikelompokkan di halaman akhir buku tapi ditulis sebagai catatan kaki. Jadi saya nggak perlu repot-repot nengok ke belakang.
Tokoh favorit saya di novel ini adalah Witir Femmilio, si mantan anggota Denjaka. Kocak orangnya, tapi pas bertempur, duuuh berasa jantan dan laki banget. Tapi masih aja nyelipin rayuan buat Nona. Wkwkwk~
Sementara untuk adegan favorit jelas waktu Larung Nusa berantem sama si dalang. Seruuuu dan menegangkan.
Dan yang bikin merinding sekaligus terharu adalah saat saya menyadari siapa yang dimaksud dengan tiga sandera terakhir. Hiks. Ngilu rasa hati saya jadinya.
Dan yang bikin merinding sekaligus terharu adalah saat saya menyadari siapa yang dimaksud dengan tiga sandera terakhir. Hiks. Ngilu rasa hati saya jadinya.
Tapi epilognya berasa masih kuraaaaang. Saya pengin tahu nasib Larung Nusa. Bagaimana pandangan orang terhadapnya. Pengin ada yang mengakui bahwa dia memang mampu, karena akhirnya bisa membuktikan bahwa dia kompeten. Tapi nggak ada. Huhuuu...
Secara keseluruhan, saya sukaaaa banget dengan novel ini. Banyak pengetahuan tentang sejarah papua, tentang strategi taktis, tentang latihan militer juga betapa serunya operasi militer berjalan. Saya rekomendasikan novel ini bagi kalian yang suka kisah penuh ketegangan, teror dan aksi baku hantam. Seru banget. Sungguh.
4 komentar:
Semoga jadi semakin suka dengan thriller lokal.
Salam,
Ronny Mailindra
mailindra.com
wahh review kedua tentang buku ini yang kubaca, makin penasaran aja sama buku tentang papua ini :D
Yaap.. Amiin.
Terima kasih sudah mampir :)
Bagus inih, Mbak Astrid. Harus dicoba :))
Posting Komentar