Judul buku: Kupu-Kupu Bersayap Gelap
Penulis: Puthut EA
Penyunting: Nody Arizona
Pemeriksa aksara: Prima S. Wardhani
Ilustrasi sampul & isi: Saipul Bachri
Penata isi: Azka Maula
Penata sampul: Narto Anjala
Penerbit: Buku Mojok
Tahun terbit: Februari 2016 (cetakan kedua)
Tebal buku: 167 halaman
ISBN: 978-602-1318-25-6
BLURB
"... Puthut adalah pencerita yang piawai. Kata-katanya sederhana. Kalimat-kalimatnya ringkas. Tidak neko-neko. Tidak ingin dianggap pintar meliuk-liukkan kata, tapi ceritanya tetap memukau.
Dia bukan hanya tahu teknik menulis yang baik, tapi saya kira, cerpen-cerpennya tak hanya ditulis dengan teknik menulis dan bercerita yang baik itu, melainkan ditulis dengan melibatkan perasaannya. Dan itulah yang penting, karena tulisan yang ditulis dengan sepenuh perasaan akan sampai pula pada perasaan pembacanya. Tak banyak penulis yang sanggup melakukannya. Mungkin saya berlebihan, tapi perasaan tidak bisa dibohongi. Beberapa kali dada saya terasa sesak karena larut membaca cerpen-cerpen Puthut. Seolah saya ada di sana, di dalam cerpen-cerpennya. Menjadi saksi. Menjadi pelaku."
—Rusdi Mathari, wartawan dan penulis
RESENSI
Saya adalah salah satu penikmat karya-karya Puthut EA, lalu merasa gemas sendiri karena nggak pernah bisa menuliskan satu review-pun setelah menuntaskan membaca karya-karyanya. Mungkin saya nggak percaya diri, mungkin juga karena saya nggak sanggup berkata-kata lagi seusai membaca. Ah... penikmat abal-abal macam apa saya ini?
Di bulan kelahiran saya, beberapa bulan lalu, saya mendapatkan arisan kado buku dari sahabat-sahabat grup BBI Joglosemar. Sebenarnya wishlist saya adalah karya Puthut EA yang lain, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, tapi karena stok sedang kosong, saya akhirnya dipilihkan Kupu-Kupu Bersayap Gelap ini. Jelas saya nggak keberatan karena saya memang belum pernah membaca buku ini. Lagipula, saya memang lebih suka kumpulan cerpen karena berarti saya bisa lebih banyak bertemu karakter-karakter dalam dunia yang dibangun oleh Puthut EA.
Buku Kupu-Kupu Bersayap Gelap ini berisi 13 cerita pendek, yang kisah-kisahnya begitu lekat dan dekat dengan kehidupan kita. Rasanya mudah saja menengok ke lingkungan sekitar dan menemukan cerita yang hampir sama seperti yang dialami para tokoh dalam kumpulan cerpen ini. Atau kalau mau lebih jujur lagi, betapa dekatnya lakon yang kita jalani dengan kisah-kisah yang ada dalam buku ini.
Saya menyukai semua cerpen di dalamnya, tak terkecuali. Semua begitu tampak sederhana dan membumi tapi juga menohok dengan kuat di tempat-tempat yang tepat. Ada ironi hidup dalam kisah-kisahnya, pun ada nilai-nilai moral yang mengisi jalinan kisahnya. Semua ditulis dengan bahasa yang lugas namun indah.
"Itu bukan masalah uang yang kamu miliki. Tapi masalah yang lebih penting lagi, yaitu hal yang pantas dan yang tidak pantas." (hlm. 107)
Bagi saya, cerita pendek Rasa Simalakama yang menceritakan tentang sepasang kekasih yang tak nggak sanggup menyakiti orang-orang yang mereka cintai demi kebahagiaan mereka sendiri, memanglah yang paling membekas karena begitu dekatnya dengan kisah saya sendiri. Sedangkan Benalu di Tubuh Mirah membuat saya merasa terhubung karena diceritakan dari sisi seorang ibu, yang harus menghadapai orang-orang serupa benalu dalam hidup ini. Dan sungguh, benalu itu memang banyak. Bahkan mungkin secara sadar dan nggak sadar, saya pun bisa saja merupakan benalu bagi orang lain.
Potret sosial dalam ketigabelas cerpen ini memang nyata adanya di sekitar kita. Puthut sendiri menjabarkan settingnya bukan secara fisik tapi secara sosial. Tempat dan ruang tak bernama tapi tetap saja terasa akrab karena menggambarkan situasi sosial lingkungan kita. Betapa mudahnya saya membayangkan kampung dan surau di cerpen Dalam Pusaran Kampung Kenangan, atau gardu ronda sebelah tenggara dan sebelah barat laut dalam cerpen Gayung Plastik, atau juga "kota besar" yang menjadi latar cerpen Doa Berkabut.
Keberagaman juga merupakan bagian penting dalam kumpulan cerpen ini melalui karakter-karakternya yang berbeda agama, latar dan keyakinan. Dan melalui karakter-karakter itulah, nilai-nilai moral dan ironinya terasa menohok begitu dalam tanpa terasa menggurui. Karena rasanya begitu mudah menempatkan diri sebagai si tokoh karakter atau orang terdekat si tokoh.
Kupu-Kupu Bersayap Gelap menjadi buku kumpulan cerpen favorit saya. Dan di antara ketigabelas cerpen di dalamnya, Bunga dari Ibu dan Dalam Pusaran Kampung Kenangan yang paling saya sukai. Buku ini melalui cerpen-cerpenya telah membawa saya menjelajah, dari satu kenangan ke kenangan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar