Minggu, 31 Desember 2017

[Sudut Unyu] Kaleidoskop 2017 dan Resolusi Baca 2018

Nggak terasa ternyata tahun 2017 hampir berakhir, bahkan hanya bersisa hitungan jam. Sedih akutu~~
Jika dibanding tahun lalu, tahun 2017 ini ampun dah, mood baca novel romance ilang, mood ngeblog terbang entah ke mana, dan sekali baca buku susah move on-nya wkwkwk~
Saya menutup tahun 2017 dengan 77 buku saja. Pencapaian baca saya bisa dilihat di goodreads challenge berikut ini:



Dari 77 buku tersebut hanya 22 buku saja yang saya tulis reviewnya. Memang sejak awal tahun saya telah memutuskan untuk berhenti dulu menerima tawaran blogtour ataupun mereview buku, karena saya sempat merasa kewalahan. Membaca dan mereview jadi seperti sebuah tanggung jawab yang harus dituntaskan. Saya ingin membaca dan menulis sesuai ritme saya, tanpa dibatasi deadline. Namun memang akibatnya seolah saya jadi nggak produktif dalam membaca dan mereview. Padahal, buku-buku yang saya baca tahun ini lebih mengena dan lebih saya sukai dibanding tahun lalu.

Tengok saja buku Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom yang edan banget bikin saya susah move on. Juga buku Dusta-Dusta Kecil alias Big Little Lies milik Lianne Moriarty yang membuat saya heboh ngepromosiin buku ini ke teman-teman saya. Atau bagaimana saya takjub pada Para Bajingan yang Menyenangkan karya Puthut EA yang koplak banget.
Saya juga menemukan penulis-penulis yang bikin saya jatuh cinta berat pada karyanya seperti Gunawan Tri Atmodjo, Dea Anugrah dan Kedung Darma Romansha. Saya tenggelam dalam puisi-puisi memikat milik Jokpin, F Aziz Manna, Hasan Aspahani dan Triyanto Triwikromo.

Pengalaman paling seru adalah saya berhasil menyusuri kisah Hoegeng, melalui beberapa biografinya. Ya, saya mirip orang yang kehausan saat memburu buku-buku yang mengangkat kisah beliau. Bahkan saya sampai meminjam novel Halaman Terakhir jauh-jauh dari Mbak Desty di Palopo. Wkwkk~ Bacaan yang akhirnya membuat saya tertarik untuk menelusuri kisah-kisah para tokoh yang menandatangani Petisi 50. Sayangnya saya gagal saat hendak menulis reviewnya. Hhh~

Intinya walau tahun ini bacaan dan review saya merosot jauh dari tahun lalu, tapi tahun ini banyaaaak buku bagus yang berhasil saya baca. Pada bulan-bulan akhir saya juga bisa kembali menikmati membaca novel romance dan menemukan buku yang bikin saya nangis nggak berenti-berenti kayak lagi nonton film India Kabhi Kushi Kabhi Gam... hahaha~
The Devilish Mr. Danvers karya Vivienne Lorret adalah salah satunya.

Hmm... untuk tahun 2018 saya nggak akan muluk-muluk lagi deh. Harapan saya adalah bisa membaca sesuai pilihan saya, dan mungkin lebih rajin bikin review. Sejak akhir tahun 2017 saya juga mulai menerima tawaran review dan blogtour lagi walau masih dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan. Semoga tahun depan saya bisa bekerja sama dengan baik dengan pihak-pihak yang mempercayai saya.
Yaah... sampai jumpa di tahun 2018 dengan bacaan-bacaan yang semoga semakin keren-keren. Salam literasi :)

Jumat, 22 Desember 2017

[Review] Grand Story Magazine: Liberating Literacy | Semangat Berbagi dalam Literasi

Nama Majalah: Grand Story Magazine
Project Director: Rudy Harsono
Editor in Chief: Fiqih A. Dennoto
Media Reporter: Yoshica Putri & Dedy Tri Sulistyadi
Copywriter: Sekar Wulandari Yogaster
Photographer: M. Edo Barrudy & Aryanda Nugraha
Cover: Betrayer Family
Cover Writer: Kurniawan Gunadi
Illustrator: Ifada Nisa
Writer: Shevani Thalia, Marina Sybille, & Hestia Istiviani



Sebagai individu yang tumbuh besar bersama majalah, hal yang masih jadi kebiasaan saya adalah: membuka halaman majalah dari belakang, alias dari halaman terakhir ke muka. Ini kesenangan utama saya dari membaca majalah ataupun tabloid, karena tentu saja saya nggak bisa melakukannya terhadap buku, novel dan komik, kan?
Bahkan hingga sekarang saat majalah yang saya konsumsi hanyalah majalah bobo dan mombi yang saya baca bersama anak-anak saya, anak-anak yang awalnya heran pun sekarang terbiasa dengan habit saya ini.

Ketika sebuah email datang dari Sekar Wulandari di bulan Agustus lalu (huhuu, maafkan jika review saya berselang cukup lama), untuk menawari saya mereview sebuah majalah tematik, tentunya ini menarik minat saya dan saya menyetujuinya. Majalah ini tiba di bulan September dan benar-benar membuat saya penasaran karena Grand Story Magazine yang dikirimkan kepada saya kebetulan bertema Liberating Literacy.
Desain covernya cakep banget. Sebuah gambaran tentang manusia saat menerima dan mengolah arus informasi, diilustrasikan dengan sangat apik dan detail dalam tinta emas dengan latar hitam. Dan ternyata, cover ini punya makna mendalam yang diulas sendiri dalam Cover Story... waaah rupanya konsep untuk cover pun dipikirkan secara matang 😍

"Menerima dengan indera.
Memilah dengan pikiran.
Mencintai dengan hati.
Menjadikannya kebaikan."

Demikian secuil inti dari cover story yang rasanya mengena di hati, dan membuat saya meresapinya lamat-lamat.

Grand Story Magazine memiliki konsep yang rapi. Disajikan dengan dwibahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, majalah ini nyaman untuk dibaca. Walau saya membaca dari belakang, tapi saya tetap akan menjabarkannya dari depan, sehelai demi sehelai. Kkk~
Selain Cover Story, majalah ini juga menghadirkan Flash Story, Main Story, Figure Story, Advertising Story, Community Story, Our Story, Event Story dan After Story. Wow... komplit banget, kan?

Dalam Flash Story disajikan berita-berita ringkas tentang perkembangan terkini sesuai tema. Karena edisi ini temanya adalah literasi, tentunya dalam Flash Story muncul berita-berita terkini tentang literasi, yang tentunya sangat penting untuk diketahui.
Ada tiga artikel utama dalam Main Story yaitu: Mengedukasi Lewat Literasi, Mematahkan Stereotipe Lewat Pembaharuan Perpustakaan, dan Kejayaan Industri Buku, Pekerjaan Rumah Literasi Indonesia. Masing-masing artikel menghadirkan perspektif yang matang dan disampaikan dengan apik.



Memasuki Figure Story ada tokoh-tokoh hits dalam dunia literasi yang memeriahkan isi majalah ini. Mereka adalah Aan Mansyur, Agustinus Wibowo, Dewi Lestari, dan Kathleen Azali. Jawaban-jawaban yang mereka berikan dalam sesi question & answer dalam majalah ini begitu jujur, penuh dedikasi dan menginspirasi.
Dalam advertising story, ada tips-tips yang dibagikan kepada pembaca tentang periklanan, dan yang lebih penting yang masih berkaitan atau sesuai dengan tema.

Dua komunitas literasi kota Surabaya bercerita secara bergantian dalam Community Story. Sebagai kota yang mendeklarasikan diri sebagai Kota Literasi, komunitas-komunitas literasi mulai tumbuh dan menyemarakkan Surabaya, seperti Aliansi Literasi Surabaya dan Komunitas Kota Jancuk yang tampil dalam majalah ini. Kisah dan kegiatan yang mereka kemukakan tentunya diharapkan bisa menginspirasi para pembaca.
Dalam Our Story terdapat artikel-artikel tentang industri kreatif yang muncul untuk memberikan kesegaran. Yang menarik tentu saja ada pada artikel travel, di mana muncul sisi lain kekayaan Surabaya yang ditampilkan melalui potret-potret yang luar biasa indah. Foto-foto yang mampu 'berbicara' bahkan tanpa narasi apa pun. Selain itu ada juga Book Review, Our Recommendation dan Our Opinion yang melengkapi bagian ini.



Beberapa kegiatan yang telah diadakan di Surabaya muncul dalam Event Story. Sedangkan After Story menjadi penutup yang merangkum keseluruhan tema, memberikan penutup yang membuat pembaca merasa tergugah dan berpikir untuk lebih kreatif lagi, terutama dalam menyebarkan semangat literasi.

Secara keseluruhan tampilan Grand Story Magazine sangat menarik. Tata letaknya nyaman untuk dibaca, penempatan dan pemilihan foto-fotonya pun indah dilihat. Iklan-iklannya tidak mengganggu baik dari segi penempatan maupun porsinya. Grand Story bukan hanya sebuah majalah yang menyajikan tema-tema terkini tapi juga memanjakan pembacanya.
Untuk berlangganan atau informasi lainnya bisa dengan menghubungi via email marketing.grandstorymagz@gmail.com

Selasa, 19 Desember 2017

[Resensi] Raindrops Serenade - Dya Ragil | Ujian Kepercayaan dalam Persahabatan

Judul buku: Raindrops Serenade
Penulis: Dya Ragil
Ilustrasi sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2017
Tebal buku: 256 halaman
ISBN: 978-602-03-7877-0



BLURB

“Omong-omong, gue lagi nulis lagu atas permintaan band kampus. Mau bantu?”
“Kenapa? Lirik yang lo tulis berasa sampah lagi?”
“Lebih baik sampah daripada plagiat.”

Risa pernah menulis lagu bersama Amel, lalu tiba-tiba lagu itu diklaim sebagai lagu yang diciptakan oleh salah satu personel band Lima Oktaf. Ketidakjelasan kenapa lagu itu bisa jatuh pada pihak ketiga membuat dua sahabat itu saling menyalahkan dan akhirnya bermusuhan. Bahkan, Risa sempat melakukan percobaan bunuh diri karena tidak kuat menghadapi cyberbullying yang dilakukan para fans Lima Oktaf.

Setelah kejadian itu berlalu, Risa harus kembali berhadapan dengan Lima Oktaf karena urusan kepanitiaan orientasi mahasiswa baru di kampusnya. Keadaan makin rumit ketika dia mendapati Galang, pemuda yang sudah dia anggap adik sendiri, ternyata sedang menulis lagu untuk Lima Oktaf tanpa mengetahui seperti apa masa lalu Risa.

Apa yang akan Risa lakukan saat Galang meminta bantuannya menulis lagu itu? Bagaimana pula reaksi Amel yang masih saja menyalahkannya?


RESENSI

Sejauh ini saya selalu suka novel-novel Young Adult yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Dibanding lini lain, permasalahan yang diangkat sebagai isu dalam novel-novel Young Adult lebih kompleks, dan tentunya lebih mematahkan hati. Namun di sisi lain, novel-novel ini memberi kekuatan dengan cara mereka masing-masing, mereka bangkit walau susah payah saat jatuh, mereka melawan sebisa mereka saat menghadapi hantu terbesar mereka, mereka memunguti serpihan hati mereka dengan tegar saat kalah, mereka tetap penuh cinta kasih setelah dihantam badai. Ada pesan-pesan yang diulurkan untuk diraih para remaja dewasa seusia mereka.

Dalam Raindrops Serenade saya bertemu dengan Risa, seorang mahasiswi yang pesimis dan dibayangi sebuah trauma. Gadis yang pernah menghadapi tragedi dalam hidupnya sehingga nampak diliputi kesedihan. Ia mengalami krisis kepercayaan, baik terhadap orang-orang maupun terhadap dirinya sendiri.
Saya juga bertemu dengan Galang, pemuda yang dua tahun lebih muda dari Risa, dan entah kenapa walau terkesan sendu, kehadirannya selalu terasa menentramkan. Itu yang saya rasakan setiap kali ia berinteraksi dengan Risa.
Saya menyukai keunikan hubungan mereka. Ada saat di mana Galang seolah seperti anjing penjaga yang lucu yang mengekori ke mana pun tuannya pergi. Lembut untuk disayang, tapi juga garang saat ada yang berani melukai. Hhh... bikin iri 😆😆
Saya bertemu juga dengan Amel, mantan sahabat Risa yang berseteru hebat dengan Risa. Mereka sama-sama mengalami krisis kepercayaan. Mereka sama-sama menutupi luka hati mereka dengan kemarahan dan kebencian. Namun saya nggak bisa membenci Amel, cara bicaranya yang pedas itu menggemaskan. Saya suka pemilihan kalimat-kalimatnya. Sadis tapi manis.

Sesungguhnya ada banyak banget tokoh dalam novel ini yang muncul, dan membuat saya kebingungan. Maafkan saya yang memang punya keterbatasan memori dalam mengingat nama-nama. Namun karena tokoh-tokoh itu sangat penting dalam membangun konflik novel ini, saya pun akhirnya bisa mengikuti. Kemunculan mereka yang cukup sering, juga bagaimana nama mereka yang disebutkan dalam dialog antar tokohnya membantu saya untuk mengingat peranan mereka.

Ada beberapa isu besar yang diangkat dalam novel ini. Yang pertama adalah plagiarisme. Orang-orang banyak yang menyepelekan hal ini, menganggap plagiarisme bukanlah suatu kejahatan. Novel ini berusaha menyuarakan bahwa pelanggaran hak cipta dapat berimbas pada banyak segi kehidupan.
Yang kedua adalah cyberbullying. Maha benar netijen dengan segala komentarnya. Saya sangat geram pada Reno, yang dengan sengaja membiarkan para fansnya untuk membully Risa di media sosial. Jahat. Kejam. Padahal satu kalimat jahat saja bisa menjatuhkan mental seseorang yang mungkin sedang di titik terendah, apalagi ini komentar rame-rame. Tuduhan. Kecaman. Makian. Wajar jika kemudian korban cyberbullying kebanyakan memutuskan untuk bunuh diri. Bukan karena mereka lemah, tapi mental, hati dan kepercayaan mereka telah diinjak-injak oleh para perisak.
Yang ketiga adalah kepercayaan. Seberapa besarkah kepercayaanmu terhadap sahabatmu. Saat ada masalah menerpa kalian berdua, apakah kalian akan tetap berdiri bersama, ataukah kalian akan saling menyalahkan. Seberapa banyakkah kalian mengijinkan hati kalian untuk mempercayai sahabat kalian. Yakinkah kamu dia nggak akan menusukmu dari belakang? Dalam novel ini, ada kisah persahabatan yang mengalami pasang surut. Ada kepercayaan yang diuji. Dan saat kebenaran terungkap, bisakah mereka memaafkan dan membuka lembaran baru.

Pada awalnya saya membaca Raindrops Serenade dengan susah payah, ada dialog yang seolah dipaksakan untuk masuk & mengulur-ulur cerita. Ada deskripsi panjang yang seolah nggak ada pentingnya. Juga betapa gemasnya saya karena penulis seolah berputar-putar untuk menunda menjatuhkan bom masalah yang sebenarnya. Namun begitu bomnya meledak, tiga perempat novel ini saaaaangat mengasyikkan. Page turner banget. Tempo ceritanya juga menjadi cepat. Saya tenggelam pada usaha Risa untuk mendapatkan kembali apa yang pernah hilang darinya. Terlebih lagi saya suka dengan banter yang dilakukan antara Risa dan Amel. Mereka cute banget :)))
Ooh saya juga suka dengan lirik-lirik lagu yang ditulis Risa. Cakep banget pemilihan diksinya.

Membaca novel ini pada akhirnya membuat saya memikirkan tentang sahabat saya. Bersyukur karena kami nggak pernah dihantam badai seperti yang dialami Risa dan Amel. Saya juga berusaha mengingat-ingat pernahkah saya membuat komentar jahat dan menyudutkan terhadap seseorang di media sosial. Ah, semoga saja tidak. Bagaimana dengan kalian?
Hmm... yah, saya sih tetap akan merekomendasikan novel ini apa pun jawaban kalian 😉

Jumat, 15 Desember 2017

[Resensi] Bittersweet Love - Netty Virgiantini & Aditia Yudis

Judul buku: Bittersweet Love
Penulis: Netty Virgiantini & Aditia Yudis
Editor: Kinanti Atmarandy
Desain sampul: Dwi Anissa Anindhika
Penerbit: Gagas Media
Tahun terbit: 2012
Tebal buku: 244 halaman
ISBN: 979-780-544-1



BLURB

Merindukanmu adalah satu-satunya kata yang dapat menggambarkan rasa ini. Dan semuanya dimulai sejak aku kehilanganmu.
Ketika waktu membawakan pilihan-pilihan lain untukku, langkahku masih terbelit oleh ingatan tentangmu. Kasih sayang yang seluruhnya milikku pun harus terbagi. Bahkan, rumah tak lagi menjadi tujuanku untuk pulang.
Kini aku menyadari bahwa semua sudah berganti dan yang bisa kulakukan hanyalah menghadapi. Semua yang telah lewat tak mungkin bisa kembali. Apa yang kupikir lenyap, nyatanya tertutup emosi. Butuh waktu untuk belajar mencintai lagi. Dengan penuh keyakinan diri aku melakukannya.
Menerima. Cinta sesederhana itu saja.

RESENSI

Belakangan Nawang mulai sering ikut tawuran, apalagi jika sekolahnya berhadapan dengan sekolah Hefin, Nawang akan dengan ganasnya maju sampai garis terdepan. Rasa bencinya terhadap Hefin memang sangat besar, dan cowok itu juga membalas dengan kebencian yang tak kalah besar. Pernikahan ayahnya dengan Ibu Hefin, membuat Hefin tanpa seizinnya telah masuk ke kehidupan Nawang. Hilang sudah sosok ayah yang dulu dicintai Nawang.
Di sisi lain Nawang menyukai sensasi dilindungi oleh Artan ketika ia ikut tawuran. Artan yang membuatnya berdebar. Artan yang mulai tertarik pada Joanna, adik tiri yang dibenci Nawang. Seolah tak mau ketinggalan, Ibu Nawang pun menikah lagi dengan ayah Joanna. Membuat Nawang terpaksa tinggal bersama keluarga baru yang tak diinginkannya. Ia membenci Joanna, karena merebut perhatian Ibu, dan juga Artan.
Hidup terasa seperti neraka bagi Nawang, Hefin dan Joanna, mereka dipaksa beradaptasi, seolah mereka robot tanpa perasaan. Akankah waktu dapat membuat kebencian mereka meluruh?

-----------------------------
Sebelumnya saya sudah diperingatkan oleh salah satu penulis duet gagas ini agar siapin tisu sekotak karena sang penulis sendiri sampai patah hati saat menulis bagiannya. Hueee~~ padahal udah diperingatkan loh, lha kok saya masih tetap mewek ra uwis-uwis. 😭😭😭

Bittersweet Love merupakan duet dua penulis yaitu Netty Virgiantini dan Aditia Yudis. Kedua penulis ini masing-masing menuliskan cerita tentang seorang gadis remaja yang harus beradaptasi dengan keluarga barunya. Dua penulis, dua gadis, dua sudut pandang, satu latar, satu konflik masalah.

Di bagian pertama ada Take It yang dikisahkan oleh Netty Virgiantini tentang Nawang, gadis yang dipaksa menerima keadaan yang disebabkan perceraian kedua orang tuanya. Ia terpaksa memiliki dua keluarga baru, terpaksa memiliki saudara tiri, masing-masing dari pernikahan ayahnya dan pernikahan ibunya. Ini sih berat banget :(
Saya dibawa termehek-mehek dengan gaya Nawang yang berusaha kuat, kekeraskepalaannya malah membuat saya iba.
Ini adalah kisah perjuangan Nawang melawan rasa bencinya sendiri, perjuangan seorang putri yang tersesat dan kebingungan karena tak tahu di mana harus menempatkan diri. Baik dalam keluarga baru ibunya, maupun keluarga baru ayahnya. Itu sebabnya ia menjadi pembenci.
Bisa dibilang sepanjang membaca cerita Nawang saya nangis nggak ada berhentinya. Rasa sakit Nawang, rasa benci Nawang, rasa kesendirian Nawang semua dituliskan dengan apik dan menyentuh. Bikin saya ikutan sakit. Huhueee~~
Take It adalah murni kisah Nawang menghadapi dan mengatasi konflik batin dan konfliknya dengan saudara-saudara tirinya. Yaa ada sih kisah romancenya yang manis, tapi dikiiit. Dikit tapi udah bisa bikin meleleh. Yaaah... baper lagi kan :'))


Di kisah kedua ada Pulang yang dituturkan oleh Aditia Yudis. Ini adalah kisah Joanna, gadis yang dimusuhi Nawang karena menjadi saudari tirinya. Entah karena sudah membaca kisah Nawang lebih dulu, atau memang benar seperti itu, saya merasa Joanna memang menyebalkan, manja dan egois. Kalau Nawang membenci dengan aksi diam dan nggak peduli, Joanna ini lebih kurang ajar karena dengan ucapannya dia berani memarahi ibu tirinya.
Membaca kisah Joanna nggak menimbulkan rasa simpati sebesar saat membaca kisah Nawang, mungkin karena sisi dewasa saya (halaaah) nggak menyetujui cara berpikir Joanna. Jo terlampau manja, terlampau mengasihani diri sendiri, padahal dia masih punya abang dan Artan yang memperhatikannya, berbeda dengan Nawang yang benar-benar diabaikan semua orang.
Saya jadi lumayan geram juga, karena penolakan mentah-mentah dan sikap kurang ajar Joanna, yang menyebabkan Ibu Nawang memusatkan perhatian untuk memenangkan hati Jo, di sisi lain membuat Nawang tanpa sengaja terabaikan. Hiihhh pokoknya bikin kesel lah baca kisah Joanna ini.


Bittersweet Love membuat saya memahami efek yang disebabkan oleh pernikahan baru yang dipaksakan terhadap anak. Sayangnya, memang ada orang tua yang mengejar kebahagiaan mereka sendiri, tanpa memikirkan kebahagiaan anak-anak mereka. Nawang, Hefin dan Joanna adalah anak-anak yang tak diberi kesempatan untuk menyamankan diri terlebih dulu. Keputusan yang diambil orang tua mereka membuat mereka tersesat dan menghancurkan hati mereka. Perpisahan memang menyakitkan, terutama bagi anak-anak, tapi lebih menyakitkan saat orang tua mengajak anak-anak memasuki kehidupan baru tanpa menanyakan pendapat anak-anak terlebih dulu, tanpa membuat mereka nyaman terlebih dulu.
Well, Bittersweet Love bukan hanya menunjukkan kepada saya cinta yang manis dan pahit, tapi juga terasa menyengat saya dengan kegetiran.

Sabtu, 09 Desember 2017

[Resensi] Skandal Sang Duchess - Courtney Milan

Judul buku: Skandal Sang Duchess
Judul asli: The Duchess War
Series: Brothers Sinister #1
Penulis: Courtney Milan
Alih bahasa: Eka Budiarti
Desain sampul: Marcel A. W.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Oktober 2016
Tebal buku: 480 halaman
ISBN: 978-602-03-3290-1



BLURB

Miss Minerva Lane terkenal pendiam, dan ia ingin tetap seperti itu, karena kali terakhir ia menjadi pusat perhatian, hal itu berakhir sangat buruk sampai ia terpaksa mengganti nama untuk meninggalkan masa lalunya yang penuh skandal. Jadi ketika seorang duke tampan muncul, ia sama sekali tidak menginginkan perhatiannya. Tetapi justru itulah yang ia dapatkan.

Robert Blaisdell, Duke of Clermont, memiliki misi penting yang amat dirahasiakan. Karena itu, ia terkejut ketika Minnie berhasil mengungkap rencananya. Robert menyadari di balik sifat pendiam Minnie, ada kecerdasan yang membahayakan. Maka ia bertekad menguak skandal masa lalu Minnie sebelum wanita itu mengungkap rencananya lebih jauh. Tapi si nona pemalu terbukti merupakan lawan yang lebih tangguh...

RESENSI

Setelah membaca The Governess Affair sebagai novella yang mengawali seri Brothers Sinister, saya cukup bersemangat untuk lanjut ke novel pertamanya yaitu The Duchess War atau Skandal Sang Duchess. Hmm... yang menarik dari pandangan pertama tentunya adalah cover version-nya yang berbeda dengan cover version aslinya. Saya suka dengan gambar bidak-bidak catur di situ, karena maknanya lebih mewakili dibanding cover sosok seorang wanita.
Beberapa kali membaca karya Courtney Milan, terutama seri Turner, membuat saya menyadari betapa saya mengagumi penulis ini. Dalam karya-karyanya, Courtney Milan selalu memberi tokoh utamanya sebuah kekurangan. Hal inilah yang saya temui ketika membuka halaman pertama The Duchess War. Ya, Minnie atau Miss Willhelmina Pursling adalah seorang wanita yang memiliki bekas luka di wajahnya dan dianggap membosankan.

"Menurutku dia akan muat dengan pas. Sebagai istri, Mrs. Pursling akan seperti buku-buku ini. Saat aku ingin mengeluarkan dan membacanya, dia akan ada di sana. Saat aku tidak ingin, dia akan menunggu dengan sabar, persis di tempat dia ditinggalkan. Dia akan menjadi istri yang penurut untukku, Ames. Selain itu, ibuku menyukainya." (hlm. 12)

Miss. Pursling mungkin adalah sosok yang sempurna untuk dijadikan istri bagi kalangan atas di masa itu. Kritik sosial yang disampaikan dalam novel ini jelas adalah menyinggung perilaku para prianya yang menjadikan wanita sebagai alas kaki, yang dianggap bodoh dan hanya sebagai hiasan pelengkap. Tapi tunggu. Benarkah heroine kita di novel ini adalah makhluk penakut dan pasrah menerima keadaan?
Rupanya Miss. Pursling hanyalah topeng yang digunakan oleh Minerva Lane untuk menutupi jati dirinya, karena Minnie yang asli takut orang-orang akan mengetahui skandal yang pernah ia alami yang telah mengakibatkan luka di wajah dan rasa sakit jauh di dalam hatinya. Jika pada awalnya saya sempat merasa kecewa, pada akhirnya saya sangat menyukai Minnie. Ia ahli dalam berstrategi, otaknya bagai mesin yang penuh hal-hal yang mencengangkan, ia berani dan nggak gampang digertak.
Berbeda halnya dengan Robert Blaisdell, Duke of Clermont, yang menurut saya biasa saja. Saya telah membaca The Governess Affair, dan saya tahu betapa menjijikkannya ayah Robert yang mewariskan gelar Duke of Clermont. Saya merasa bersimpati dan memahami mengapa Robert menjadi begitu terobsesi untuk menjadi perjaka. Ia nggak mau melakukan kesalahan dan kebejatan yang sama seperti yang dilakukan ayahnya. Sayangnya, ini membuat Robert terlalu "baik" dan terlalu polos, sehingga acara seksual pertama mereka terasa sedikit aneh :')

Konflik dalam novel ini sangat seru, karena begitu kompleks. Pembaca bukan hanya diajak mengikuti perkembangan hubungan Minnie dan Robert yang naik-turun, tapi juga perkembangan politik pada masa itu, bagaimana Robert berusaha menghapuskan hak-hak para bangsawan dan memberi hak-hak yang lebih manusiawi kepada para buruh industri. Kesungguhan Courtney Milan dalam melakukan riset untuk membangun latar waktu dan suasana, terlihat jelas dalam novel ini.

Sebagai buku pertama dari sebuah serial, kemunculan Oliver Marshall, Sebastian Malheur, dan Violet Waterfield dihadirkan dengan porsi yang pas untuk memancing rasa penasaran. Kebersamaan mereka juga banter yang mereka lakukan begitu menggelitik dan menarik minat. Bagi saya, jujur saya sangat tertarik dengan hubungan Sebastian dan Violet yang terlihat kompak dan seolah menyimpan sesuatu. Ehem.

Bagian favorit saya, adalah hubungan Robert dengan ibunya dan hubungan Robert dengan ibu Oliver. Sebenarnya saat ibu Oliver memeluk Robert itulah yang paling bikin saya mewek. Untunglah penerimaan yang mereka tunjukkan dan berikan belum terlambat. Untunglah Robert masih bersedia menanti dan nggak jadi pria yang pahit.

Well, bagi saya The Duchess War menjadi novel historical romance yang layak dibaca karena bangunan konflik dan plotnya yang apik. Dan saya sudah nggak sabar untuk melanjutkan petualangan dengan brothers sinister selanjutnya 😉




 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon