Rabu, 29 November 2017

[Blogtour: Impian Demian] Pertemuan Tak Terduga dengan Penulis

Pic from google

Sekali lagi aku melirik cemas pada kain serba putih yang dikenakan putra sulungku. Kain yang melilit tubuhnya itu masih tampak sempurna warnanya. Untuk saat ini. Entah bagaimana nanti setelah kegiatan berlangsung.

Aku nggak akan separno ini kalau kain itu milik kami sendiri, baru jadi masalah karena kain itu hasil meminjam dari tetangga. Ya maklumlah kalau untuk kegiatan yang cuma terjadi setahun sekali begini, aku memang sangat pelit. Bagaimanapun juga prinsip ekonomi harus ditegakkan, bukan? Okesip. Terima kasih untuk yang setuju, yang nggak setuju aku layani perdebatannya lain kali saja.
Kurasakan genggaman putraku mengencang dan sentakannya yang pelan membuatku benar-benar menoleh padanya.

"Kenapa, le?" Entah mengapa aku nggak bisa menanggalkan kata sapaan ini dan tetap menggunakannya di mana pun kami berada. Mungkin aku terlalu nyaman menyebut anak-anakku dengan thole, karena mengingatkanku pada tanah kelahiran.

"Ibu mau pulang atau nungguin sampai selesai?" tanyanya penuh harap.

"Pulang aja ya," sahutku setengah usil.

Bibir putraku langsung membuat cemberutan yang sangat kuhapal. Namun sesuai dugaanku, dia tetap diam dengan penuh gengsi.

Aku mengedarkan pandangan dan menemukan penjual es cincau di bawah pohon tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hmm... tapi ada es cincau enak di sana. Ibu tungguin di sana aja ya," ujarku sambil mengangguk sedikit ke arah penjual es cincau.

Putra sulungku menoleh mengikuti arah yang kutunjuk, lalu menyipitkan mata. "Katanya nggak boleh jajan sembarangan," ucapannya yang separuh polos separuh menyindir itu membuatku tergelak.

"Iya... iya... Kan sekali-kali doang," aku berusaha membela diri. "Atau ibu pulang aja nih?"

"Huh, ibu nggak asyik!" Gerutu putraku kesal.

Aku tertawa sekali lagi, "makanya, jangan banyak protes. Udah sekarang kita cari guru dan kelompokmu dulu deh."

Melihat putraku mengangguk, aku kembali mengedarkan pandangan memilah di antara para orang tua dan anak-anak berpakain putih, mencari keberadaan rombongan dari sekolah putraku.

Pandanganku menemukan apa yang kucari, maka dengan sedikit bergegas kugandeng putraku ke titik kumpul guru dan teman-teman putraku.

"Bu Guru!" Belum sempat aku membuka suara, putraku lebih dulu berteriak dan berlari mendekati sang guru. Tanpa sungkan dia langsung memeluk dan mencium tangan gurunya. Cih, kalau dengan bu guru saja, nggak pakai gengsi segala.

"Selamat pagi, Bu Ina," sapa sang guru saat melihatku mendekat. "Mau ditinggal atau ditunggu nih putranya, Bu?" Tanyanya dengan nada ramah.

"Selamat pagi, Bu. Eng... saya tunggu di sebelah sana saja ya, Bu. Yang adem tempatnya." Jawabku sambil menunjuk ke penjual cincau yang kulihat tadi.

Kualihkan pandanganku dari anggukan dan senyum manis Bu Guru ke arah putraku, "Ibu tinggal dulu ya, Le. Sini mana ciumnya," aku menundukkan badanku sedikit ke arahnya.

Tanpa ragu ia memeluk leherku dan mencium kedua pipiku.

"Ingat pesan Ibu ya," bisikku dengan nada tajam disadis-sadiskan. "Jangan sampai kotor kainnya."

Kali ini giliran ia yang tertawa keras, "Ibuuuu... Ibu udah bilang gitu ratuuuusan kali." Sungutnya setengah geli setengah kesal.

Dih lebay, mana ada aku bilang sampai ratusan kali. Oh, atau bisa jadi memang sebanyak itu? Pikirku mencoba mengingat-ingat. Yasudah, mengalah sajalah pada kata anak kecil ini.

Aku bangkit dan melambai padanya, lalu berbalik dengan mantap menuju bapak-bapak penjual cincau. Kulihat sudah ada seseorang yang sedang duduk di bangku yang disediakan si bapak. Setelah cukup dekat, baru aku sadar aku mengenali sosok ibu muda yang manis itu.

Sedikit ragu karena takut ditolak, kuambil tempat duduk di dekatnya. "Permisi, Mbak Nimas ya?"

Dengan kaget ia mengangkat wajah dan menatapku. "Iya benar. Siapa ya?" Raut bingungnya membuatku buru-buru menyodorkan tangan.

"Saya Ina, Mbak. Salah satu pembaca buku Mbak Nimas. Baru saja kemarin saya menyelesaikan baca Impian Demian," cerocosku memperkenalkan diri.

Senyum lebar terbentuk di wajah cantiknya, ia mengulurkan tangan menyambut jabat tanganku. "Oh iya... iya.. Hai, Ina. Sini duduk sini. Wah saya senang lho bisa ketemu pembaca saya." Mbak Nimas membalas dengan keramahan yang membuatku tersentuh.

"Hehe.. Apalagi saya, senang banget bisa ketemu penulis yang novelnya bikin saya merasa nano-nano." Tukasku seraya duduk setelah sebelumnya memberi kode ke bapak penjual es cincau  membuat dengan mengacungkan satu telunjuk.

Mbak Nimas terbahak, "Nggak nyangka ya bisa ketemu. Ina dari mana?"

Aku menunjuk ke arah keramaian anak-anak yang sedang mulai bersiap melakukan latihan manasik haji di lapangan. "Mengantar putra saya, Mbak. Mbak Nimas sendiri sedang apa?" Selidikku penuh minat.

"Sama dong. Saya juga nganter putri saya. Daripada saya pulang trus bolak-balik, ya saya tunggu saja di sini."

Aku mengangguk-angguk sepakat. "Kalau gitu, boleh nggak nih saya temenin, Mbak? Pengen ngobrol-ngobrol dikit nih sama Mbak Nimas soal novel."

Ngobrol dikit atau banyak?" Godanya dengan senyum dikulum.

Aku tergelak sambil menerima gelas cincau dari si bapak penjual. Setelah mengucapkan terima kasih, aku kembali menghadap ke Mbak Nimas. "Kalau Mbak Nimas nggak keberatan sih, ada banyak pertanyaan yang ada di benak saya tentang Demian."

"Boleh...boleh.. Silakan aja bertanya. Sambil menunggu anak-anak ini, kita ngobrol-ngobrol aja." Sahutnya dengan ramah.

"Berapa lama sih Mbak waktu yang dibutuhkan Mbak Nimas untuk bikin Impian Demian?" Tembakku langsung saking penasarannya.

Mbak Nimas terlihat sedikit menerawang untuk mengingat-ingat. "Novel itu mulai saya tulis ketika menetap di apartemen di Jakarta, karena seringnya jenuh di dalam apartemen saja, Saya mulai deh nulis lagi, itu sekitar Januari 2017, dan Saya selesaikan pelan-pelan, sampai Agustus 2017, ya sekitar enam bulananlah."

Aku seruput es cincauku seraya mendengarkan dengan saksama. "Hmm.. lumayan cepat juga ya, Mbak. Bagian mana tuh yang menurut Mbak Nimas susah untuk dituliskan?"

"Yang susah? Saya rasa bagian yang menceritakan tentang pekerjaan seorang arsitek, itu butuh riset sendiri. Sama pas editingnya itu, luar biasa melelahkan," Mbak Nimas tergelak riang.

"Kenapa, Mbak? Editornya cerewet kah? Atau nyebelin?"

Mbak Nimas masih tertawa, "umm.. cerewet nggak yaaa.. Coba tebak!" Jawabnya berteka-teki dengan tatapan jenaka.

"Yaaah... Saya nggak pinter tebak-tebakan, Mbak," keluhku sambil menahan senyum melihat ekspresi Mbak Nimas. "Yaudah, ganti pertanyaan deh. Kalau bagian yang bikin seneng nulisnya bagian mana nih, Mbak?"

Mbak Nimas kembali menjawab pertanyaanku dengan serius. "Bagian yang saya suka itu yang menceritakan tentang pabrik kosmetik dan persahabatan Demian dengan Rio dan Dewi, juga flirtingnya sama Alexandra."

"Lhaa... tapi saya malah suka baca flirting ngaconya Demian sama Maura, Mbak," protesku cepat.

"Oh ya?"

Aku mengangguk untuk mempertegas ucapanku, "paling suka malahan. Lucu mereka berdua itu. Gokil bener si Maura. Stres pasti si Demian punya sekretaris kayak dia. Sukurin."

"Kok malah sukurin?" Tanya Mbak Nimas dengan geli.

"Ya abisnya Demian nyebelin sih, Mbak. Pengen ngegaplok jadinya."

Suara tawa Mbak Nimas kembali terdengar. "Gitu ya?"

Sekali lagi aku mengangguk. "Bicara soal Demian, kapan sih Ibu Demian mendirikan Sara Cosmetic? Dan kenapa gitu, Mbak?"

"Jadi gini lho yang melatarbelakangi ibu Demian membangun Sara Cosmetic, itu pertama karena dia punya passion di situ, dia perempuan cantik yang terbiasa bergelut dengan kosmetik dan kebetulan memiliki kemampuan bisnis yang diwarisi  dari keluarganya. Dia perempuan yang ulet dan tidak mau hidup susah, apalagi suaminya hanya seorang dosen. Maka dengan kemampuannya dan didukung oleh kemampuan modal sedikit yang ada, ditambah kemampuannya meraih minat investor, maka dia membangun Sara Cosmetic."
Mbak Nimas menyesap es cincaunya sebelum melanjutkan kembali. "Kedua, juga nggak jauh dari sifat suaminya yang kaku dan pemarah, yang membuat batin Sara sedikit gersang sehingga dia melarikan kebahagiaannya dalam bentuk lain, yaitu berkarya. Berdedikasi penuh pada pekerjaannya. Karena suaminya itu, samalah seperti sikapnya ke Demian atau Hilda, kaku dan emosian, juga tidak bisa mengungkapkan perasaan sayang dan perhatiannya dengan benar. Hal mana yang membuat Sara memendam sakit batin dan akhirnya menjadi penyakit kronis juga buatnya."

Aku tertegun mendengar jawaban panjang dari Mbak Nimas. "Tapi suaminya sebenarnya cinta banget kan, Mbak?"

Mbak Nimas mengangguk "Raditya sebenarnya sangat mencintai istrinya, hanya saja dia nggak tahu bagaimana harus bersikap dan bagaimana dia harus merefleksikannya. Maka ketika di ambang maut Sara memintanya menikahi Hilda demi kelangsungan perusahaan kosmetik dan demi Demian, dia pun mau saja, meski pernikahan itu membuat Hilda tersiksa. Jadi begitulah sayangkuu... Kira-kira Sara Cosmetic dibangun tak lama setelah Sara menikah dengan Raditya dan Demian masih baby. Itu kisaran tahun 1995."

Mendengar cerita Mbak Nimas, aku melirik sejenak ke lapangan mencari-cari sosok putraku dengan pandangan mataku yang terbatas, lalu menghela napas berat. "Saya menyadari ada beberapa orang tua yang sulit mengekspresikan kasih sayangnya, sama seperti ayah Demian. Menurut Mbak Nimas bisakah sifat seperti itu diubah?"

"Tentang orang tua yang sulit mengekspresikan perasaan ke anak, itu sampai kapanpun sifatnya sama seperti itu. Tapi biasanya menjelang semakin tua, perhatiannya ke anak semakin besar, meski masih terasa kaku nggak bisa mendekat terlalu akrab. Saya bikin karakter itu selalu berdasarkan role model karakter orang-orang sekitar saya, jadi saya perhatikan mereka itu seperti apa, dan di situlah bisa muncul karakter kuat dalam sebuah novel. Jadi bukan sekedar karakter karangan belaka. Ada di kehidupan nyata." Tukasnya dengan nada tegas.

"Iya benar, Mbak. Saya juga banyak melihat yang seperti itu," sahutku menyetujui. "Selain mengamati sekitar, riset apa lagi yang Mbak lakukan untuk novel ini?"

"Banyak. Salah satunya riset tentang pabrik, dan yang penting tentang pekerjaan seorang arsitek. Untung keponakan saya arsitek, jadi bisa tanya tanya ke dia." Mbak Nimas terkekeh pelan di ujung penjelasannya.

Aku tersenyum, "mudah buat ditanya-tanya ya, Mbak. Pantes Demian ini benar-benar kerasa rasa arsiteknya. Nah, kita kan udah tahu nih, apa impian Demian. Kalau Mbak Nimas sendiri apa impiannya?"

Mbak Nimas terdiam sejenak sebelum menjawab dengan senyum lebar, "Impian saya, saya pengin keliling dunia, pengin bikin film, dan kelak novel novel saya difilmkan."

"Huwaa... Amiiiin." Tukasku dengan sungguh-sungguh, berharap benar Mbak Nimas bisa mencapai impiannya juga. "Lanjut nih, Mbak... Harapan buat Demian sendiri apa, Mbak?"

"Berharap Demian jadi arsitek hebat, pabrik kosmetiknya juga sukses, hubungannya dengan Hilda dan Lucia membaik, dan segera nikah sama ****. Harapan yang utama,semoga best seller dan difilmkan. Aamiin.."

Sekali lagi aku mengaminkan doa Mbak Nimas. "Mbak, itu yang di atas itu saya sensor ya namanya. Biar pembaca tetap ada kagetnya nanti pas baca Impian Demian."

"Ooops.. iya. Dibintang aja, atau kasih tiiitt," ujarnya dengan ekspresi lucu.

"Yakalii kayak KPI ngasih tiiit mulu." Sahutku terkekeh. "Kalau Mbak Nimas ini tipe orang tua yang seperti siapa sih?"

"Saya separuh Hilda dan separuh mamahnya Rio, hahahaa.. Ibu-ibu cuek yang nyantai. Tapi nggak secerewet mamah Rio juga sih."

Aku terbahak mengenang kecerewetan mama Rio yang sering membuat Rio dan Demian mati kutu. "Ada yang bilang, seorang penulis akan menuliskan keresahan yang dirasakannya, adakah keresahan yang Mbak tuangkan dalam novel ini?"

"Kalau bisa dibilang keresahan, itu adalah adanya hubungan absurd antara Demian dengan Hilda dan Lucia, ini juga bukan sekadar pemanis cerita tapi memuat keresahan saya sendiri, karena di hidup saya, saya juga punya seorang Hilda, seorang Lucia, begitupun dari keluarga suami. Jadi saya gambarkan betapa rumitnya hubungan seperti ini dalam novel saya."

Ah, saya jadi ingat tentang Lucia, cewek yang mencuri perhatian saya karena kemunculannya yang selalu bikin saya ngelus dada. "Lucia itu sangat menarik perhatian saya, mengagumi abangnya yang dingin, mencoba mengais perhatian abangnya tapi hasilnya selalu nol. Namun rasa sayang dan kagumnya nggak hilang. Saya lihat walau pemalu tapi dia sangat optimis. Mbak Nimas ada rencana buat nulis tentang Lucia nggak untuk nanti ke depannya?" tanyaku dengan antusias.

"Mungkin, bisa saja kan? Insya Allah kalau saya diberi kesempatan, ingin sekali menuliskan tokoh Lucia ini. Dukung yaa..."

"Ooo.. sudah pasti kalau itu, Mbak. Pastilah saya dukung. Semoga karya-karya Mbak Nimas laris manis, dan tercapai semua impiannya." Ujarku dengan penuh semangat.

"Amiiin..." Sahut Mbak Nimas nggak kalah semangatnya.

Kami terdiam sejenak dan sama-sama memandang ke arah kerumunan anak-anak. Menatap buah hati masing-masing dengan harapan yang memenuhi benak. Berharap dengan keterbatasan sifat kami sebagai orang tua, anak-anak tetap yakin dan percaya bahwa kami para orang tua tetap mencintai mereka dengan cara kami sendiri. Berharap mereka tak menyimpan kebencian kepada kami, seperti Demian yang membenci ayahnya. We hope not... :')

**** END****

Cerita pendek ini dibuat sebagai bagian dari blogtour Impian Demian. Maafkan kemampuan menulis saya yang tak seberapa ini, meski besar harapan saya semoga teman-teman pembaca bisa menikmatinya :)


Senin, 27 November 2017

[Resensi: Impian Demian - Nimas Aksan] Perjuangan Demian untuk Menyelamatkan Impian-Impiannya

Judul buku: Impian Demian
Penulis: Nimas Aksan
Editor: Dion Rahman
Penata sampul dan ilustrasi: Ulayya Nasution
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: November 2017
Tebal buku: 360 halaman
ISBN: 978-602-04-4956-2



BLURB

"Impianku bukan berada di sini bersamamu dan sepabrik dengan perempuan sensi lainnya yang bergerombol membahas lipstik. Aku mengambil jurusan arsitektur bukan iseng-iseng seperti saat kamu ikutan lotre dan buummm … namamu keluar sebagai pemenang. Aku ingin membuat gedung. Aku selalu membayangkan bisa membangun banyak sekali gedung tinggi yang indah di negeri-negeri yang jauh dari sini.” 

“Kenyataannya kamu berada di sini, Demian. Di gedung rusak yang harus kamu bangun kembali.”

Impian Demian Radityawangga untuk menjadi arsitek gedung bertingkat di seluruh dunia terancam kandas ketika dia didatangi oleh Alexandra Hardianty, Public Relation dari Sara Cosmetic, perusahaan kosmetik yang diwariskan kedua orangtuanya. Alexandra membuka kenyataan bahwa dia memiliki kewajiban memimpin perusahaan yang sedang mulai sekarat itu, sebagai bentuk pengabdiannya pada mendiang sang ibu, Sara Amalia, pendiri Sara Cosmetic. 

Keadaan semakin memburuk ketika Demian berkonflik dengan Hilda, ibu tirinya, yang memegang hak cipta atas Aqualove, produk kosmetik temuan terbaru yang seharusnya bisa menolong Sara dari kebangkrutan. 
Mampukah Demian dan Alexandra bersama-sama mengatasi krisis dan menyelamatkan pabrik kosmetik yang nyaris bangkrut itu, sementara di sisi lain, kesempatan untuk meraih impiannya mulai memanggil-manggil?


RESENSI

Ini adalah pertama kalinya saya mencicipi novel karya Nimas Aksan. Melalui Impian Demian saya disuguhi sebuah pergulatan batin seorang laki-laki tanggung yang harus memilih antara meraih impiannya sendiri atau mempertahankan impian almarhumah mamanya. Satu hal yang pastinya nggak akan mudah untuk dihadapi siapa pun, terutama jika ada ikatan yang sangat kuat antara sang anak & ibunya.

Impian Demian disajikan melalui sudut pandang orang pertama. Ya, novel ini begitu vokal menyuarakan isi hati Demian. Perasaannya terhadap kedua sahabatnya—Rio dan Dewi—yang sebentar lagi akan menikah, perasaannya terhadap mantan kekasih yang juga akan menikah, perasaan akan almarhum papanya yang ia benci, juga perasaannya menjadi pria populer yang selalu jadi bahan flirting wanita-wanita di sekelilingnya. Capek pasti rasanya ya 😅.
Sudut pandang ini pulalah yang membuat saya merasa Demian cukup egois. Pada awalnya saya merasa iba atas apa yang ia alami semasa kecil. Hidup dengan orang tua yang susah mengekspresikan rasa sayang tentu menyakitkan bagi anak-anak. Sulit. Namun saya juga bisa mengerti nggak semua orang tua mudah memeluk atau mudah menunjukkan kasih sayang. Saya tahu rasanya, karena saya pun mengalaminya. Saya belajar untuk tak terlalu berharap, dan saya belajar untuk memahami.
Sedang Demian justru mengambil jalan yang lain. Ia tetap memikul rasa sakitnya, dan mencari kasih sayang serta pengakuan dari gadis-gadis yang dikencaninya. Sadar atau tidak ia membalas dendam dan rasa sakit hatinya melalui perbuatannya.
Demian tumbuh menjadi pria yang sinis dan cenderung menarik diri dari orang-orang yang ia anggap sumber masalah baginya.
Ada kalanya saya membenci Demian, atas sikapnya terhadap Lucia. Saya gemas banget melihat eh membaca cara Demian memperlakukan Lucia. Sebagai anak bawaan dari Hilda, Lucia yang polos begitu memuja Demian sejak pertama, tanpa kenal lelah, walau ditolak dan dicuekin Demian berkali-kali :'(
Untunglah ada Alexandra yang menjadi penyeimbang yang membuat saya nggak jadi gila karena saking jengkelnya 😂😂. Cerdas, multitasking, berani dan cerewet setengah mati. Alexandra sangat menonjol dan sanggup menguasai keadaan, bahkan keadaan tersulit yang disebabkan Demian.
Setidaknya melalui sosok Alexandra dan Dewi dalam novel ini, saya merasa sudah terwakili untuk menyuarakan apa yang saya rasakan terhadap Demian.

Hubungan yang hangat justru dibagi Demian dengan kedua sahabatnya. Saya menyukai interaksi ketiganya, meski tetap saja satu-dua kali sisi egois Demian keluar. Namun bagi saya, bagian terbaik dari novel ini adalah interaksi yang terjadi antara para tokohnya. Terutama interaksi antara trio Demian-Rio-Dewi, dan interaksi antara Demian dan sekretaris pribadinya. Interaksi antara Demian dan Maura ini lucu dan gokil sehingga saya sempat merasa kalau mereka cocok 😂😂.

Konflik dalam novel ini ternyata nggak sesimpel kelihatannya. Bukan hanya perkara Demian harus menentukan sikap secara jantan untuk impian-impian yang berkelindan di benaknya, tapi juga ia harus mengurai masalah yang telah menumpuk bertahun-tahun. Bagaimana Demian harus berani menyingkirkan egonya dan berdamai dengan masa lalunya. Manusia punya beragam sifat, nggak semuanya hangat, menyenangkan dan mudah mengungkapkan perasaan. Ada insan-insan yang kesulitan untuk bersikap manis, meski jauh di dalam hatinya berlimpahan kasih sayang. Kadang, mungkin kitalah yang harus beradaptasi sedikit untuk menyentuh orang-orang seperti ini.

Sebenarnya ada banyak pesan yang bisa didapat dari Impian Demian, tapi saya memilih menggarisbawahi hubungan yang sulit antara Demian dan ayah serta ibu tirinya. Jika teman-teman unyureaders membaca novel ini, mungkin saja ada pesan lain yang akan teman-teman dapatkan. So, buat kalian yang demen cerita persahabatan & roman yang asyik, konyol dan nggak terlalu kental nuansa romantisnya, kamu harus banget baca novel ini.

Terus ikuti rangkaian blogtour Impian Demian ya, karena setelah postingan review ini saya akan membagikan sebuah cerita pendek versi saya 😉



Jumat, 10 November 2017

[Resensi: Telembuk - Kedung Darma Romansha] Menelusuri Jejak Pahit Kehidupan Sang Telembuk

Judul buku: Telembuk
Sub judul: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Penulis: Kedung Darma Romansha
Penyunting: Dian Dwi Anisa
Pemeriksa aksara: Maria Puspitasari
Cover: Nugroho Daru Cahyono
Penata letak: Azka Maula
Penerbit: Indie Book Corner
Tahun terbit: Mei 2017
Tebal buku: 414 halaman
ISBN: 978-602-3092-65-9



BLURB

Roman ini menunjukkan keseriusan menjelajahi secara kritis pengalaman penulisnya di tanah tumpah darahnya sendiri. Memeriksa timbunan pengetahuan lokal dan mengartikulasikannya dengan bahasa etnografis pengalaman keagamaan dan godaan seksualitas sebuah hiburan. Yang suci dan profan, yang sakral dan banal bercampur membentuk cerita yang memikat.
Muhidin M. Dahlan

Novel Kedung Darma Romansha ini bercerita tentang dunia prostitusi, panggung dangdut, pergaulan para pemabuk dan tukang kelahi. Adegan seks dan kata-kata kasar bertaburan. Namun uniknya, novel ini tidak terkesan vulgar. Mengapa demikian? Saya rasa hal itu terkait dengan nada penulisan dan posisi narator. Narator berada pada posisi netral: dia tidak memberi penilaian moral apapun, baik dalam arti menghakimi perilaku tertentu, maupun sebaliknya, yaitu merayakan atau membela perilaku yang berada di luar standar moralitas yang menjadi pegangan mayoritas orang Indonesia. Di samping itu, penulis menaruh perhatian pada detail-detail penggambaran suasana, juga bahasa dan gaya pergaulan lokal, yang terkesan cukup realistis dan berbasis pada riset lapangan. Dengan demikian, lingkungan dan perilaku manusia yang diceritakan sekadar hadir sebagai sesuatu yang memang eksis, dan menarik sekali-sekali dilirik, serta dimasuki lewat dunia khayal sebuah novel. Mau dihakimi, dinikmati, atau sekadar diamati, itu terserah pembaca.
Katrin Bandel, kritikus sastra


RESENSI

Aan merupakan remaja belia yang telah empat tahun meninggalkan desanya untuk mesantren di Jogja. Namun ia selalu pulang ke Imdramayu setiap libur caturwulan tiba untuk melepas rindu kepada suasana desa dan teman-teman masa kecilnya yang nakal. Jika liburan tiba, ia akan pergi bersama teman-temannya untuk menonton dangdut dan tarling. Saat itulah Aan melihat Diva Fiesta sang bintang dangdut. Perhatian Aan begitu tersedot pada gadis itu, ia merasa mengenali sosok yang goyangannya mampu membuat hati para lelaki berdesir itu. Merasa penasaran ia pun mngajak Govar dan Kriting untuk membuntuti Diva dan memastikan kecurigaannya.
Dari sinilah kisah ini kemudian bergulir, rahasia-rahasia Diva dan kaitannya dengan menghilangnya Safitri perlahan mulai terungkap. Perjalan hidup Diva, kisah pilu Safitri, cinta Govar yang lama terpendam, kenangan Aan akan gadis yang pernah dipujanya, Mukimin dan cintanya pada Safitri yang timbul tenggelam, perasaan-perasaan yang muncul di benak mereka masing-masing, semua berkelindan dan membentuk jalinan cerita yang kian kelam, kian suram.
Akankah rahasia besar itu terungkap, akankah ada kebahagiaan bagi orang-orang yang telah mencicipi getirnya hidup ini?

------------------------------------------

Didorong oleh rasa penasaran saya akan nasib Safitri yang raib di akhir Kelir Slindet, saya pun mengejarnya hingga ke novel Telembuk. Konon kabarnya, segala jawaban dan penyelesaian akan nasib Safitri ada di dalam buku ini. Saya pun kemudian berharap kegelisahan dan kekepoan saya bisa terpuaskan melalui Telembuk.
Bagi kalian yang masih blank tentang apa sih telembuk dan slindet itu, seperti pertanyaan yang dilontarkan beberapa kawan saya saat mereka tahu saya membaca novel ini, akan saya sampaikan secara singkat saja. Telembuk adalah istilah lokal untuk pekerja seks komersial, sedangkan slindet adalah telembuk yang masih belia, dengan kisaran usia belasan. Nah... nah... jangan dulu buru-buru mengerenyit atau menuding karena mungkin siapa tahu jalan hiduplah yang membuat mereka begitu, seperti yang terjadi pada Safitri....

"Tidak apa-apa, Diva. Biar kamu tahu, bahwa hidup kadang dipaksa untuk melakukan dosa." ~ Mak Dayem (hlm. 71)

Ini adalah babak baru dari kehidupan Safitri. Bagaimana ia berusaha bangkit setelah dituding dan dijatuhkan oleh asumsi dan opini masyarakat. Ia kabur dari desanya, saat usianya masih 15 tahun, karena tak tahan dengan gunjingan, tekanan dan cibiran, serta orang-orang yang meninggalkannya sendirian. Tak ada penopang, tak ada pengayom. Bahkan orang tuanya sendiri sibuk berkubang dalam rasa malu. Bisakah dibayangkan ke mana anak gadis seusia itu pergi sendirian tanpa tujuan?

Dengan mulut kalian, kalian bisa mengubah nasib seseorang jauh lebih buruk. Itulah mulut. Kalian boleh tertawa. Menertawakan diri sendiri. Karena kesenangan kalian belum tentu menjadi kesenangan orang lain. ~ Safitri (hlm. 193)

Walau tahun beranjak, walau rezim berganti, nasib masyarakat Cikedung nggak ada perubahan. Pola kehidupan mereka masih sama seperti sebelumnya. Anak-anak gadis yang dianggap tak perlu sekolah tinggi, pernikahan dini, gaya hidup kaum lelakinya yang mendorong kaum wanita untuk menjadi TKW ke luar negeri, dan kebanyakan rata-rata akhirnya berujung pada perceraian. Perceraian di usia muda inilah yang mendorong para wanita yang nggak punya bekal pendidikan atau keahlian akhirnya memilih menjadi telembuk. Terpola. Terus menerus seperti itu sehingga lama-lama profesi telembuk dianggap wajar.

Meskipun novel ini merupakan lanjutan dari novel Kelir Slindet, tapi pembaca nggak perlu khawatir jika belum pernah membaca Kelir Slindet, karena di awal kisah Telembuk, ada ringkasan kisah awal Safitri dan Mukimin seperti yang dikisahkan dalam Kelir Slindet. Bahkan di dalam Telembuk diungkapkan juga beberapa adegan yang ternyata disensor dalam Kelir Slindet.
Yang menarik dan sejujurnya lumayan bikin saya mengerutkan kening adalah gaya narasinya yang berbeda dengan Kelir Slindet. Dalam Telembuk saya dilempar dari satu narator ke narator lainnya. Rasanya persis seolah saya sedang menelusuri jejak Safitri dan mendengarkan cerita orang-orang yang kemungkinan mengerti bagaimana nasib Safitri. Baru saya sadari bahwa, ya, saya dibuat seolah sedang memburu kisah Safitri dari satu orang ke orang yang lainnya. Sehingga kisah Safitri yang saya dapat bukanlah sebuah dongeng belaka dari seseorang yang serba tahu, tapi dari orang-orang yang telah, sedang dan pernah berinteraksi dengan Safitri.
Walau tetap saja saya merasa "intermeso" bagaimana para tokoh tiba-tiba muncul dan menggugat sang narator sedikit menggelikan, karena saya jadi sedikit meragukan kebenaran fakta yang telah diungkapkan oleh narator. Narator dalam Telembuk ini di mata saya nggak lagi seperti narator-narator di novel lain yang bisa sangat terpercaya kebenarannya, tapi menjadi orang biasa yang jika saya dengarkan ceritanya, saya masih meragukan benar nggak sih ceritanya???? Kirik!

Namun walau cerita tentang Safitri membuat saya ragu, lain halnya dengan latar yang disajikan dalam novel ini. Kedung Darma Romansha masih memberikan nuansa kedaerahan yang kental, masih menunjukkan dengan gamblang latar sosial masyarakat Indramayu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kultur yang mengemuka dalam novel ini terasa kuat dan membuatnya tampak sangat nyata. Ya, sekali lagi saya yakin ini bukan dongeng.

Pasti kalian ingin tahu siapa yang menghamiliku. Kenapa kalian harus tahu? Sepenting itukah aku bagi kalian? Lalu ketika kalian tahu siapa yang menghamiliku, kalian akan merasa puas? (hlm. 192)

Eng...ing...eng... coba bagaimana rasanya disinisin oleh tokoh utama cerita yang sedang kalian baca? >.< 
Di titik inilah saya merasa mulai malu pada Safitri, saya merasa telah melanggar privasinya karena telah mengintip kehidupannya, menelanjangi kisah asmaranya, dan terus menduga-duga siapa yang menghamilinya. Lalu... apa bedanya saya dengan masyarakat yang dengan lidah mereka telah menghakimi Safitri?
Saya bukan siapa-siapa yang bisa masuk ke dalam cerita dan menuntut keadilan bagi Safitri, kan?

Membaca novel ini pada akhirnya bukanlah untuk menghakimi Safitri, Mukimin, Carta, Mang Alex, Mak Dayem, Govar, Sini, Saritem, Sondak atau siapa pun juga. Membaca novel ini adalah masuk ke kisah panjang perjalanan seorang telembuk yang dikemas Kedung Darma Romansha dengan begitu naturalnya. Masuk berarti memahami, masuk berarti menjadikan rahasia dan liku kehidupan Safitri sebagai bagian dalam ingatan saya. Pilihannya adalah, menyimpannya untuk diri sendiri atau menyebarkan cerita ini kepada orang lain. Nah, jadi apakah kalian ingin mendengarkan kisah ini? 😏



 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon