Rabu, 08 Agustus 2018

[Resensi] Diajeng - Netty Virgiantini | Camilan dan Cinta Segitiga

Judul buku: Diajeng - Camilan, Gembolan, dan Cinta yang Belingsatan
Penulis: Netty Virgiantini
Editor: Wiwien Wintarto
Desain sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2018
Tebal buku: 264 halaman
ISBN: 9786020380810



BLURB

Di tengah semangatnya merintis usaha Cenil Snack untuk membiayai kuliah, Diajeng tertipu oleh Angga, seorang sales yang mengajaknya bekerja sama. Dengan harapan bisa memperoleh keuntungan lebih besar, ia mempertaruhkan seluruh tabungan yang dimilikinya. Cobaan bertambah ketika dagangan yang dititipkannya di sebuah minimarket ludes dalam musibah kebakaran.

Dalam keadaan terpuruknya, Ardi, laki-laki matang yang berprofesi sebagai guru SD, melamarnya dan menawarkan banyak solusi untuk masalahnya. Diajeng terbelit dalam kebimbangan karena diam-diam ia juga menyukai Aslan Satriawan, mantan teman sekolahnya yang sudah didekati oleh sahabatnya sendiri. Seperti sebuah nasihat, setelah kesusahan pasti ada kemudahan, ia pun kemudian mendapat kejutan tak terduga dalam hidupnya. 

RESENSI

Satu hal yang saya suka dari novel-novel karya Netty Virgiantini adalah karakter tokoh ceweknya yang tangguh, glenyengan, rada konyol, dan sederhana. Sedemikian halnya dengan Diajeng, tokoh utama dalam novel Diajeng - Camilan, Gembolan, dan Cinta yang Belingsatan. Sebuah novel yang termasuk dalam Gemblongers Series, yaitu serial di mana masing-masing novel menceritakan tentang para anggota geng Gemblongers yang ditulis oleh empat penulis yang berbeda. Anggota Gemblongers sendiri terdiri dari empat cucu perempuan Mbah Atmosukarto, seorang kakek yang masih gagah dan suka melemparkan pantun geje alias gak jelas kepada cucu-cucunya. Seru kan?

Diajeng sedari awal ditampilkan dengan menonjolkan sikap pekerja keras dan cuek. Tanpa rasa malu dia berkeliling kota Semarang dari satu warung ke warung yang lain untuk menitipkan dagangan cemilannya. Dari hasil keringatnya sendiri, dia berusaha membiayai kuliahnya di Universitas Terbuka. Selain itu Diajeng juga begitu lugu dalam hal menyikapi perasaannya. Dia mundur dan diam saat tahu Arina juga menyukai Aslan. Bahkan saat Ardi melakukan pendekatan padanya, Diajeng jadi belingsatan saking bingungnya. Keluguan Diajeng pula yang membuatnya tertipu oleh teman sesama sales. Jelas, konflik batinnya semakin memuncak karena harus memikirkan uang tabungannya yang ludes.

Gaya bercerita Netty Virgiantini yang khas sangat terasa dalam novel ini. Kekonyolan dihadirkan dalam profil keluarga Diajeng, melalui sifat Bapak dan Ibu Diajeng yang drama abis. Belum lagi adanya Mbah Atmosukarto yang sangatlah geje itu, yang suka melemparkan pantun ajaib pada cucu-cucunya. Keunikan keluarga Diajeng ini yang bikin saya sebagai pembaca merasa terhibur karena rada-rada absurd. Tapi begitulah keluarga, bukan? Seaneh dan seabsurd apa pun, merekalah selimut hangat yang paling mampu memeluk dan meredakan kegelisahan kita. Begitupun keluarga Diajeng.
Kemudian muncullah dua pria yang bisa membuat Diajeng belingsatan, yang satu karena rasa cinta terpendam yang satu karena rasa segan dan hormat. Aslan yang pendiam dengan sikapnya yang membingungkan itu rasanya bikin gemas. Membuat saya bertanya-tanya akan bagaimana akhir kisah cinta segitiga ini. Sementara Ardi yang dewasa memang sedikit "menyeramkan" dengan keinginannya untuk membuat hubungan yang lebih serius lagi. Bikin grogi dan belingsatan.

Novel Diajeng mengambil latar kota Semarang sebagai sentra ceritanya. Netty Virgiantini sangat cermat dalam menggambarkan kota ini lengkap dengan cuacanya yang puanaaasss. Setiap nama tempat, nama jalan dan rute yang dilalui Diajeng tentulah mampu membangkitkan nostalgia akan kota ini. Membuat saya sebagai pembaca benar-benar merasakan atmosfer dan suasana kota Semarang.

Saya pikir saya begitu tertarik dengan isu pernikahan yang ada dalam novel ini. Beberapa pertanyaan selalu ditujukan kepada perempuan selepas kami lulus SMA: kenapa tidak menikah saja?
Diajeng pun mendapat tawaran untuk menikah di tengah keruwetan masalahnya. Begitu tipisnya garis godaan itu untuk dilangkahi. Seandainya ia menikah, ia tak perlu pusing memikirkan biaya kuliah, tak perlu berpanas-panas ria di jalanan kota Semarang demi mengantar cemilan, masa depannya bisa lebih jelas. Namun benarkah nilai perempuan hanya cukup sampai di situ? Benarkah pernikahan adalah sebuah solusi? Saya merasa harap-harap cemas membaca Diajeng yang sedang mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan. Karena saya tak ingin Diajeng berhenti berjuang, saya tak ingin Diajeng menyerah. Karena menjadi istri ataupun tidak, perempuan harus tetap bisa berdiri sendiri.

Ini adalah kisah tentang gadis tangguh yang dengan gagah berani berjuang demi masa depannya sendiri. Siapa sangka jika ia merasa minder dan tak berani jujur akan perasaannya. Tentu sangat menarik untuk mengikuti perjuangannya dalam mengembangkan usaha cemilan dan berusaha percaya diri meraih lelaki yang dicintainya. Ringan, gayeng, tapi juga bikin mewek... benar-benar seru buat dibaca.
 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon