Senin, 19 Februari 2018

[Resensi: The Maddening Lord Montwood - Vivienne Lorret] Jatuhnya Sang Bujangan Perayu Terakhir

Judul buku: The Maddening Lord Montwood
Penulis: Vivienne Lorret
Alih bahasa: Katherin Handayani S
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: Oktober 2017
Tebal buku: 372 halaman
ISBN: 978-602-04-4722-3



BLURB

Para bujangan perayu wanita dari Fallow Hall bertaruh tidak akan pernah menyerah pada cinta, namun akankah si perayu terakhir menemukan pasangannya?

Frances Thorne bisa mengatasi persoalan apa saja, kecuali kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, dan ayahnya yang dipenjara dalam satu hari. Maka, ketika ada tawaran bantuan jatuh ke pangkuannya, dia sangat bersyukur, sekalipun itu terlihat terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Hal terakhir yang dibutuhkannya adalah Lord Lucan Montwood, yang menawan, menyebalkan sekaligus menjengkelkan, menghalangi jalannya.

Akhir dari taruhan sudah dekat, dan Lucan Montwood bisa mengecap aroma kemenangan, asalkan dia bisa menjauhi wanita yang mampu melihat menembus penampilan luarnya. Namun, ketika mengetahui bahwa Frances dalam kesulitan, Lucan tidak dapat menyangkal bahwa dirinya rela melakukan apa saja demi membantu. Meyakinkan wanita itu untuk memercayainya adalah bagian yang sulit, menolaknya hampir mustahil, tapi jatuh cinta padanya? Mungkin itu terlalu sederhana.


RESENSI

Sejak kemunculan Lucan Montwood yang misterius, kelam, tapi memesona di The Devilish Mr. Danvers, saya sudah dibuat penasaran akan seperti apa perjalanan cinta pria satu ini. Atau lebih tepatnya, akan seperti apa ia melawan takdirnya untuk jatuh cinta. Karena berdasarkan kisah-kisah sebelumnya dalam serial The Rakes of Fallow Hall, Lucanlah yang telah menanamkan ide pertaruhan sebesar sepuluh ribu pound bagi yang mampu membujang hingga akhir tahun. Lucan telah mencium bau kemenangan setelah Everhart dan Danvers menikah. Tinggal sisa enam bulan lagi, tentunya itu waktu yang terlalu singkat untuk membuatnya jatuh cinta dan menikah, bukan? Atau... ia salah?

The Maddening Lord Montwood dibuka dengan latar tahun 1822 pada musim dingin di St. James. Ini adalah saat dimana Lucan sekali lagi harus mendapati kelicinan dan kelicikan ayahnya, yang menyebabkan sang Marquess lolos dari tiang gantungan dan malah menimpakan kesalahan pada Thorne, salah satu pekerjanya. Lucan harus mencari cara untuk membebaskan Thorne. Inilah asal mula Lucan memiliki utang besar dan kelak mendorongnya untuk bertaruh dengan teman-temannya.
Kurang lebih dua setengah tahun kemudian, Lucan harus menghadapi kemarahan Frances Thorne. Karena kehidupan Thorne tak juga membaik, dan Frances harus jungkir balik untuk menghidupi dirinya dan ayahnya. Tentu saja, hal termudah adalah mencari kambing hitam dan ia menyalahkan Lucan.
Frances menjadi tokoh yang kadang mengagumkan dan kadang menjengkelkan. Mengagumkan saat melihat kegigihannya mempertahankan hidup dan menghadapi ayahnya yang mulai kacau. Menjengkelkan saat ia hanya melihat hal-hal yang ada di permukaan. Sebagai seseorang yang hidup di jalanan dan mengajar seni membela diri tentunya ia harus waspada pada kebaikan terselubung, tapi Frances tetap keras kepala dan mendewakan pria yang berkali-kali menyebut dirinya murah hati.

Konflik dalam novel ini tak terlalu menegangkan. Mungkin karena sang penjahat telah diketahui sejak awal, sehingga pembaca hanya dibuat menebak-nebak apa motifnya. Mengikuti perjalanan naik-turunnya hubungan Lucan dan Frances juga ternyata tak semenarik novel pendahulunya. Sebagai bujangan yang menolak menikah ternyata Lucan mudah untuk menerima takdir cintanya dan sama sekali tak menyangkal.
Hubungan persahabatan dalam novel ini masih sangat hangat. Hal inilah yang membuat saya jatuh cinta pada serial ini. Persahabatan ketiga malaikat terbuang begitu akrab dan terasa kuat chemistry-nya. Saya menyukai dialog yang saling mereka lemparkan juga gestur mereka terhadap satu sama lain. Calliope dan Hedley juga begitu cair dalam lingkaran kecil persahabatan itu. Saya suka mendapati bahwa Hedley dan Lucan masih punya hubungan 'istimewa' seperti yang mereka tunjukkan di novel sebelumnya.

Secara keseluruhan The Maddening Lord Montwood cukup memuaskan. Melalui Lucan Montwood saya memahami bahwa kadang kita tak bisa mengambil kesimpulan terhadap seseorang hanya karena tampak luarnya saja, dan bahwa segala yang tampak begitu baik belum tentu benar-benar baik. Dan pada akhirnya yang membuat saya jatuh cinta tetaplah covernya yang memikat dan benar-benar merepresentasikan cerita di dalamnya. Setiap melihat sampulnya, saya membayangkan ketika Frances berjalan membawa lilin di lorong galeri rumah Whitelock sambil berharap suara Lucan muncul dari bayang-bayang kegelapan. Perfect!

Rabu, 14 Februari 2018

[Resensi: The Harlot Countess - Joanna Shupe] Pembalasan Dendam Sang Countess

Judul buku: Masa Lalu Sang Countess
Judul asli: The Harlot Countess
Penulis: Joanna Shupe
Alih bahasa: Nin Bakdisoemanto
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: Juni 2016
Tebal buku: 426 halaman
ISBN: 978-602-02-8753-9



BLURB

Maggie, Lady Hawkins, memiliki debut yang lebih suka dilupakannya—bersama pernikahan pertamanya. Kini, kartunis politik itu adalah seorang wanita baru. Seorang wanita yang benar-benar modern. Sedemikian modern sampai-sampai khalayak ramai memercayai bahwa dia adalah seorang laki-laki...

FAKTA: Menggambar menggunakan nama samaran laki-laki, Maggie dikenal sebagai Lemarc. Objek favoritnya: Simon Barrett, Earl of Winchester. Pria itu adalah bintang yang baru naik pamor di Parlemen—dan mantan orang yang dipercaya dan dicintai Maggie, tapi memercayai rumor yang sampai detik ini masih menyakitkan bagi Maggie.

FIKSI: Maggie adalah Perempuan Jalang Setengah Irlandia yang merayu suami sahabatnya pada malam pernikahan mereka. Wanita ini harus ditakuti dan dibenci karena dia akan mengangkat roknya kepada lelaki mana pun.

Masih hancur oleh pengkhianatan Simon, Maggie tidak berniat membiarkan seluruh ton menghancurkan dirinya. Malah, kartun Lemarc telah membuat Simon menjadi bahan tertawaan ... tapi sekarang sepertinya Maggie mungkin telah salah mengenai apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu, dan bahwa Simon diam-diam merindukan dirinya sejak ... lama sekali. Mungkinkah pada akhirnya hati lebih kuat daripada pena dan pedang?


RESENSI

Disakiti oleh seseorang yang pernah kita cintai, tentunya sungguh menyesakkan. Membuat hati dipenuhi oleh amarah dan dendam. Maggie mengubah rasa dendam itu menjadi sesuatu yang produktif, yang bisa membuatnya puas: membuat karikatur tentang Simon Barret, Earl of Winchester. Karikatur Winejester yang mengolok-olok Simon, dan menjadi perbincangan panas di kalangan atas. Tak ada yang akan mencurigai Maggie karena ia menggunakan nama samaran laki-laki, Lemarc.

Novel ini dibuka dengan adegan pertemuan kembali antara Simon dan Maggie setelah perpisahan mereka yang menyakitkan sepuluh tahun lalu. Pertemuan yang menunjukkan kepada pembaca bahwa ternyata mereka masih punya perasaan mendamba terhadap satu sama lain. Dari sisi Maggie, sebenarnya jelas, bagaimanapun ia tetap melukis Simon walau dalam bentuk olok-olok. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya ia tak bisa melepas ingatan akan Simon.
Sebenarnya, premis cinta lama bersemi kembali dan dendam asmara selalu menarik minat baca saya, terutama jika berbau-bau skandal. Ini sebabnya saya langsung bersemangat untuk menuntaskan novel ini begitu membuka halaman pertamanya.

The Harlot Countess pada awalnya bersetting di London pada tahun 1819. Isu politik yang diangkat dalam novel ini adalah tentang hak wanita korban perkosaan. Simon sendiri merupakan bagian dari Parlemen yang cukup disegani, tentu saja kedudukan ini diperoleh secara turun temurun dalam sejarah keluarganya. Ia meneruskan jejak para pendahulunya untuk menjadi bagian dari Parlemen, walau tetap saja, ia telah bekerja keras membangun sekutu untuk membuatnya disegani. Hingga muncullah karikatur Winejester yang menjadi olok-olok bagi sosok Simon. Meskipun justru kartun itu malah semakin meningkatkan pamornya.

Simon sendiri di depan dan di belakang Maggie sungguh sangat bertolak belakang. Mungkin memang benar, jika pria sudah cemburu buta, ia akan bersikap sangat tolol. Banget. Sepanjang kisah ini, saya cukup jengkel dengan asumsi-asumsi dan penghakiman yang dibuat oleh Simon terhadap Maggie. Sungguh, dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk tetap diam menerima tuduhan itu dan menghitung kapan waktu terbaik menjatuhkan bom untuk menyadarkan si dungu Simon.

Maggie menjadi representasi kaum wanita di era tersebut yang masih kesulitan untuk melawan kaum pria. Meskipun sama-sama berstatus bangsawan, nyatanya toh khalayak tetap mempercayai para pria. Seandainya ada perempuan yang muncul dari kegelapan dengan pakaian terkoyak, wanitalah yang disalahkan. Wanitalah yang dianggap penggoda dan pelacur. Sungguh saya mengagumi kekuatan diri Maggie untuk tetap berdiri tegak saat tudingan-tudingan diarahkan padanya, saat kalangan atas mengucilkannya, saat lelaki yang ia percaya akan membelanya ternyata ikut berpaling. Maggie mampu menghadapi segala sakit hati itu selama sepuluh tahun dan produktif. Sungguh saya jatuh cinta pada ketabahan dan kekuatannya.
Walau mungkin agak disayangkan, setelah ia menjanda dan bertemu kembali dengan Simon, ia dengan mudahnya takluk kembali pada pesona Simon. Beberapa wanita mungkin akan menganggap Simon tak layak mendapatkan maaf, dan betapa murahannya Maggie karena mudah melompat ke ranjang Simon. Well, saya sendiri sebenarnya maklum. Hahaha... sebagai seorang janda yang pernikahannya kering akan cinta, dan betapa ia masih mencintai Simon, saya maafkan kalau seandainya Maggie memang jadi bitchy saat bersama Simon.
Lagi pula, dari sudut pandang Simon, saya sudah menangkap penderitaannya. Simon masih terlihat tergila-gila dan posesif hingga rasanya menyakitkan terhadap Maggie.

Saya sangat menikmati membaca novel ini, narasi, deskripsi, dialog dan chemistry-nya pas banget. Konfliknya juga cukup seru dan menegangkan. Adegan ranjangnya bertebaran dengan penerjemahan yang cukup bagus. Sepertinya saya bakal memasukkan nama Joanna Shupe sebagai penulis historical romance yang layak dibaca.

Minggu, 11 Februari 2018

[Resensi] Pelisaurus dan Cerita-Cerita Lainnya - Gunawan Tri Atmodjo | Pelisaurus Sebuah Prasasti Cinta yang Tragis

Judul buku: Pelisaurus dan Cerita-Cerita Lainnya
Penulis: Gunawan Tri Atmodjo
Editor: Edi AH Iyubenu
Tata sampul: sukutangan
Tata isi: Ika Setiyani
Penerbit: Basabasi
Tahun terbit: September 2017
Tebal buku: 200 halaman
ISBN: 978-602-6651-32-7



BLURB

Pada suatu hari, semua durjana asmara menyingkir dari muka bumi dan aku jatuh cinta lagi kepada seorang editor buku primbon. 
(Iwan Punung, editor buku sastra di Jakarta) 

Sebagian besar rahasia lelaki tertinggal di kamar mandi. 
(Sri Suwartini, Menteri Kebatinan Perempuan) 

Manusia itu seperti ritsleting, terbuka dan tertutupberulang-ulang, memasukkan dan mengeluarkan cinta berkali-kali, tetapi seperti yang disembunyikan di balik ritsleting, pada akhirnya ia akan sendiri. 
(M. Yayan Kristanto, anak Pak Warso, CEO Imajiner PT YKK)

RESENSI

Apa yang terlintas di benak kalian saat membaca atau mendengar pelisaurus?
Kalau saya, sebagai orang jawa tentu paham betul bahwa peli adalah kosakata bahasa jawa yang merujuk pada alat kelamin pria. Memang sudah bukan masanya lagi bagi saya untuk merona atau terkikik-kikik bila mendengar kata ini, malahan saya sudah lancar menggunakan kata ini jika sudah berkumpul dengan ibu-ibu yang sama edannya dengan saya, atau fasih mengucapkannya di depan suami. Namun ternyata, menandaskan buku Pelisaurus ini sampai habis membuat saya tersipu-sipu dan ngakak nggak ketulungan.

Buku Pelisaurus merupakan kumpulan cerita (kumcer) yang berinti pada selangkangan dan dunia perlocoan. Jadi sebaiknya memang tinggalkan dulu rasa jengah dan curiga kalian di depan pintu sebelum memulai membaca kumcer ini.

Sejak membaca buku kumcer Tuhan Tidak Makan Ikan, saya sudah jatuh hati pada gaya tulisan nylenehnya Gunawan Tri Armodjo. Namun kali ini dalam Pelisaurus, cerpen-cerpennya terasa lebih seperti parodi kehidupan dunia bawah perut.

Ada 22 cerpen dalam buku ini dan dengan judul yang membacanya saja sudah bikin nyengir, apalagi membaca nama tokoh ceritanya, saya masih suka ngakak sendiri kalau ingat.
Dalam beberapa cerita, Gunawan Tri Atmodjo terlihat sangat rapi membangun alur dan tempo cerita. Tengok saja dalam kisah Siti Semak-Semak. Selain menyelipkan plesetan semacam: buku berjudul Terbacok Petuah Bijak karya Pipiet Surup, televisi merek Segawontron, dan juga pedangdut bernama Via Kallen, yang membacanya saja bikin saya mesam-mesem antara geli dan jengkel, cerpen ini membuat saya penasaran akan hubungan arwah Siti Semak-Semak dan si tokoh utama. Begitu ajaibnya sosok Siti Semak-Semak ini dan betapa misteriusnya cara wanita ini meninggal membuat saya terhanyut dan menjadikan Siti Semak-Semak sebagai salah satu cerpen favorit saya.

Cerpen Pelisaurus sendiri saya rasa lumayan absurd. Ini adalah kisah seorang laki-laki beristri yang terkenang mantan gara-gara sang mantan muncul di televisi. Ia teringat kisah percintaan mereka semasa kuliah, dan bagaimana ia membuat gambar pelisaurus di tembok kamar mandi tempat ia biasa ngeloco sambil membayangkan sang kekasih. Namun sayangnya pelisaurus itulah yang mebuat kisah asmaranya berakhir tragis. Tragis dengan absurd. :|
Satu cerpen yang paling saya suka adalah Poni Kirik. Cerpen ini membuat saya penasaran sekaligus geli, takut, takjub dan jengkel. Ini adalah kisah seorang pemuda yang menemukan potret lawas yang di dalamnya terdapat tiga orang berfoto dengan gaya rambut aneh yang dinamai poni kirik. Sedemikian anehnya potongan rambut itu, sehingga membuat si pemuda penasaran dan melacak jejak poni kirik. Namun usahanya nihil, tanpa hasil. Gaya rambut itu seolah tak pernah tercatat dalam sejarah. Hingga akhirnya poni kirik membawa tragedi tepat di depan matanya. Ini cerpen yang paling bikin saya ingin berkata kasar sekaligus mengagumi alur ceritanya dalam waktu bersamaan.

Bagi saya cerpen-cerpen dalam Pelisaurus begitu santai dan enak buat ngakak-ngakak. Cerita-ceritanya menghibur dan anehnya terasa beragam walau mengusung tema yang sama. Dan tentu saja, yang paling sering bikin saya pengen ngakak njungkel adalah nama-nama tokohnya. It's hilarious.



 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon