Kamis, 04 Juni 2015

[Resensi Kumcer] Memahami Keperihan Hidup Melalui Kumcer Malam Sepasang Lampion


Judul buku : Malam Sepasang Lampion
Jenis buku : Kumpulan Cerpen
Penulis : Triyanto Triwikromo
Editor : Kenedi Nurhan
Ilustrasi cover dan isi : F Sigit Santoso
Desain sampul : Putut Wahyu Widodo
Penerbit : Buku Kompas
Tahun terbit : Mei 2004
Tebal buku : viii + 192 halaman
ISBN : 979-709-129-5




BLURB

Apakah kekerasan, pemerkosaan, dan tragedi orang-orang yang disingkirkan harus dilupakan?
Apakah pembantaian-pembantaian terhadap manusia dan kemanusiaan mesti dikubur dalam-dalam?
Tidak bagi cerpenis Triyanto Triwikromo.
Karena itu, menurut pendapat Afrizal Malna, kekerasan dan seks sangat mewarnai cerpennya.
Kerusakan-kerusakan sosial bukan lagi berita,
melainkan telah menjadi bagian dari fenomena kebusukan.
Tingginya tingkat perusakan yang terjadi membuat cerpen-cerpennya mirip tubuh penuh tato,
yang menggambarkan berbagai teks tentang kekerasan.
Cerpen menjadi medan tato yang memungkinkan risiko-risiko sosial yang perih ditorehkan.




RESENSI

Triyanto Triwikromo lahir di Salatiga, 15 September 1964, selain sebagai redaktur sastra Suara Merdeka, Semarang, beliau menulis cerpen di Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, dan Republika. Beliau juga merupakan dosen Penulisan Kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, dan kerap mengikuti pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater-teater Indonesia di Yogyakarta (1988) dan Kongres Cerpen Indonesia di Lampung (2003). Juga mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang (1997), Festival Sastra Internasional di Solo, Pesta Prosa Mutakhir di Jakarta (2003) dan Wordstorm 2005: Nothern Territory Festival di Darwin, Australia.

Malam Sepasang Lampion merupakan kumpulan beberapa cerpen Triyanto Triwikromo yang telah dimuat di berbagai media cetak selama kurun waktu 1991-2004.
Judul-judul cerpen dalam kumcer ini yaitu:

• Sepasang Anjing, Sepasang Cermin
• Megatruh Percumbuan
• Morgot
• Pengadilan Terakhir
• Ragaula
• Sarumpaes
• Lorong Kupu-kupu
• Anak-anak Mengasah Pisau
• Genjer
• Hujan Medusa
• Ikan Asing dari Weipa-Nappranum
• Keluarga Iblis
• Angin dari Ujung Angin
• Mata Bibir
• Malam Sepasang Lampion
• Seperti Gerimis yang Meruncing Merah
• Rahim Api

Ketujuh belas cerita pendek dalam kumcer ini mengandung cerita tentang kekejaman, kekerasan dan kebrutalan. Dalam hidup, dalam hubungan antar manusia, dalam seks. Iblis-iblis beragam rupa berkeliaran, menebar anyir.
Dengan bahasa sastra yang apik, lugas cenderung 'vulgar', penulis mengungkapkan kerusakan sosial yang menyedihkan.
Namun ada juga cerpen yang membuat tersenyum meski senyum miris. Seperti dalam Pengadilan Terakhir. Juga ada roman mengenaskan dalam Megatruh Percumbuan dan Mata Bibir.

Dalam Pengadilan Terakhir, Rosaria sebagai tertuduh harus menjalani pengadilan sementara ia tak punya salah apa-apa. Yang menjadi sorotan saya justru bukan uang yang ditawarkan Greda agar Rosa mengaku, tapi tingkah hakim yang bikin saya miris. :p

Saya suka roman 'tak tahu diri' di dalam Megatruh Percumbuan. Lelaki yang menganggap dirinya sebagai Hanoman dan 'mencumbui' Sinta.
Dan dalam Mata Bibir, saya tercenung pada keluh kesah perempuan api. Ungkapan cintanya terhadap Rahwa, hujatannya terhadap Ram yang ia tahu berselingkuh dengan Laks, juga keinginannya agar Jata tak perlu menyelamatkannya dan keberaniannya menghadapi api pembakaran.
Saya rasa Mata Bibir menjadi cerpen favorit saya.

Catatan kaki dalam Mata Bibir menyebutkan:

Semula cerita ini berjudul Cutdacraeh. Cut, perempuan asal Aceh yang kini tinggal di Jakarta itu, sangat berperan dalam pembentukan karakter Rahwa dan Ram. Kata dia, mereka berdua hanyalah sosok-sosok rapuh yang lahir dari dusta.


TEBAR-TEBAR CUPLIKAN

Saya tak pernah membayangkan Maiz sebagai seekor anjing yang senantiasa menjulur-julurkan lidah saat berahi mendera. (Sepasang Anjing, Sepasang Cermin - hal. 1)

Setelah senja lindap dan malam melabrak lampu-lampu merkuri, akhirnya aku toh tak bisa bergegas mencium keningmu. (Megatruh Percumbuan - hal. 13)

"Sudahlah saya lelah menjelaskan asal-usul saya," Morgot menengadah menatap kipas angin gantung yang berdesing-desing di ruangan itu. (Morgot - hal. 24)

Aneh! Saya seperti merasa dilahirkan kembali justru ketika mereka (maaf, saya tak perlu menyebut oknumnya) menyeret saya ke ruangan sempit berjeruji itu. (Pengadilan Terakhir - hal. 36)

"O, inikah wajah iblis! Inikah keindahan kepak sayap-sayapnya?" Ragaula hanya sempat mendesis-desis, ketika puluhan pria-wanita bercula menyeret tubuh licin penuh manik-manik itu di sepanjang jalan berkerikil, di tengah rel yang melintas di perkampungan kumuh itu. (Ragaula - hal. 43)

Pernah melihat kepala Sarumpaes membelah dan otaknya meratapkan derita hitam orang-orang yang dipenjara? Belum? Saya juga. (Sarumpaes - hal. 53)

Ratusan kupu-kupu kecil melintasi jalanan berpenduduk terpadat di dunia sore itu. (Lorong Kupu-kupu - hal. 62)

Manyar tak mengerti mengapa mata pisau itu tak bekerjap menatapmu. (Anak-anak Mengasah Pisau - hal. 71)

(Keterangan catatan kaki: Kutipan dari sajak Sapardi Djoko Damono bertajuk "Mata Pisau", diambil dari antologi Hujan Bulan Juni.)

Iblis, yang kau sangka tak memiliki sayap dan kerling mata ungu, selalu tak bisa menyemburkan gerimis pada malam yang perih, Ibu. (Genjer - hal. 82)

Akhirnya sempat juga kubaca e-mail perempuan yang selalu kubayangkan berambut ular itu. (Hujan Medusa - hal. 93)

Aku sedang belajar menjadi iblis, Susan!
Aku akan membakar wajahmu!
(Ikan Asing dari Weipa-Nappranum - hal. 103)

Tak akan kubiarkan ibu membabat leher Fadli. Sekalipun pemabuk jahanam itu hendak mengulum paksa bibirku yang ranum, tak boleh darah segar muncrat ke kamarku. (Keluarga Iblis - hal. 115)

"Sudahlah, Herma, kau tak perlu membayangkan lagi warna ayahmu saat dia menghilang dengan menunggang kuda ke tenggara kota. Yang kutahu, mengenakan topeng emas mirip penunggang kuda dari atas angin, sayap di kedua bahunya berkibar-kibar membelah malam. Aku pun tak bisa melihat wajahnya. Mungkin dia telah menjelma iblis. Punggungnya berkilat-kilat, menusuk-nusuk, memisau mata," kata Hilda, perempuan bergaun tidur hijau muda itu sambil membereskan meja belajar Helma yang dipenuhi lukisan-lukisan pria berkuda berwajah tanpa warna. (Angin dari Ujung Angin - hal. 126)

(Keterangan catatan kaki: "Penunggang Kuda dari Atas Angin" adalah judul patung karya pematung G Sidharta.)

Sungguh, Rahwa, di taman itu aku telah melihat sepuluh bibirmu mendesahkan keperkasaan para raja yang tak henti-henti bercumbu saat hujan mendera beranda dan keheningan ranjang. (Mata Bibir - hal. 140)

Hujan -- yang kausangka bisa menghijaukan seluruh lampu-lampu lampion -- baru saja mendera jalanan Sussex, Dixon, dan Goulburn. (Malam Sepasang Lampion - hal. 152)

Kau tak akan pernah membayangkan betapa gerimis November bakal seruncing ini, Hindun. Kau tak akan pernah tahu suara beduk magrib pada Ramadhan terakhir teramat mengiris dan takbir menjelang Lebaran itu mengingatkanku pada ketololanmu memaknai bendera-bendera kemenangan yang terpancang di langit Uhud. (Seperti Gerimis yang Meruncing Merah - hal. 166)

Kau tak perlu menganggap bayi berselimut selendang merah bermotif burung phoenix itu sebagai orok ajaib yang dijatuhkan dari langit. (Rahim Api - hal. 178)

Cuplikan-cuplikan di atas merupakan kalimat pertama pembuka cerpen. Keren ya kan? Meski ada yang agak sadis. :')

3 bintang untuk Malam Sepasang Lampion by Triyanto Triwikromo.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon