Judul buku: Kabut di Bulan Madu
Penulis: Zainul DK
Penyunting: Nisaul Lauziah Safitri & Zainul DK
Pendesain Sampul: Hanung Norenza Putra
Penerbit: Ellunar Publisher
Tahun terbit: Agustus 2016
Tebal buku: 249 halaman
ISBN: 978-602-0805-73-3
BLURB
Tersangka kasus penembakan di sebuah kafe yang menewaskan seorang preman adalah Roby. Ia melakukan penembakan itu karena tak terima kekasihnya, Linda, diganggu. Ia pun berhasil ditangkap oleh Inspektur Ariel untuk menjalani hukuman penjara. Tidak sanggup melihat sang kekasih bersedih mengetahui dirinya dijebloskan ke penjara, Roby menyuruh Linda untuk berlibur menaiki kapal pesiar mewah.
Di sisi lain, ada pasangan yang baru menikah hendak berbulan madu : seorang penyiar berita bahasa Jepang, Helena Lizzana, dan pria keturunan Jepang-Timur Tengah, Ihdina Shirota. Mereka berencana menikmati momen indah itu dengan naik kapal pesiar.
Pasangan muda tersebut berada dalam satu kapal pesiar yang sama dengan Linda. Tak disangka terjadi musibah : kapal pesiar itu menabrak karang dan karam. Dari hasil evakuasi, dinyatakan bahwa hanya ada satu korban jiwa meninggal, yaitu LINDA!
Memperoleh berita nahas ini, Roby tentu saja tidak terima. Menurutnya, ada keanehan yang menyebabkan kekasihnya saja yang menjadi korban. Ia percaya seseorang sengaja membunuh Linda. Ia pun menyusun rencana untuk kabur dari penjara, dan mencari tahu siapa pembunuh sang kekasih. Inspektur Ariel mesti mati-matian mencegahnya!
RESENSI
Awalnya saya tertarik dengan novel ini karena judulnya yang serasa jadul-jadul gimanaaa gitu. Jelas saja, di tengah maraknya judul novel yang menggunakan frase atau kata yang berenglish-english ria, judul novel ini yang Indonesia banget tentunya menarik minat saya. Harus diakui kan, novel-novel pop masa kini tentunya lebih memilih menggunakan kata honeymoon dibanding bulan madu sebagai judul. Mungkin agar lebih terdengar manis, atau biar terkesan romantis, padahal ya sama aja *putar bola mata* Ini bukan nyinyir tapi yaa... wkwkwk~~
Yaaa pokoknya gitu deh, saya tertarik karena judul dalam bahasa Indonesianya.
Selain itu penulisnya sendiri menjanjikan bahwa novel ini bukan novel roman biasa. Bukan cuma mehek-mehek cintrong-cintrongan, tapi juga berbalut thriller. Wah...Wah... Serius?? Saya yang di kala itu sedang dalam titik jenuh membaca novel roman akhirnya mengiyakan dengan harapan mood baca saya membaik.
Then... benarkah sesuai harapan? Mari saya tumpahkan. *tarik nafas panjang*
Saya mengawali membaca Kabut di Bulan Madu ini beberapa pekan yang lalu, dengan harapan yang cukup tinggi. Sayangnya baru beberapa bab saya baca, putra sulung saya mengalami musibah kecelakaan kecil, begitu urusan jahitan dan drama kaki benyek selesai, giliran putra bungsu saya yang sakit. Satu sembuh, yang satu nyusul sakit... begitu terus hampir selama satu bulan lebih. Capek jiwa raga membuat saya menyingkirkan dulu novel ini. Setelah penyakit jauh-jauh, eladalah sekolah kok ya udah masuk masa PTS, jadilah dua pekan saya pontang-panting memanage jadwal ngajar yang penuh sesak, dan lagi-lagi saya pasrah nggak bisa menyentuh bacaan.
Tapi alhamdulillah yaa... walau berjeda lumayan lama, kok ya saya masih ingat jalinan cerita pembuka novel Kabut di Bulan Madu. Bisa jadi ini karena premisnya lumayan sedap bagi saya, walau tetap saja terasa kurang matang. Kayak telur setengah matang yang berenang di ind*mie kuah begitulah.
Novel ini menggunakan latar fiktif yakni sebuah kota bernama Jeyakarta, yang tetap saja gambaran serta nuansanya terasa persis dengan ibukota negara Indonesia. Namun tentunya ada yang menjadi pembeda dong, alkisah diceritakan dalam novel ini bahwa salah satu stasiun televisi di kota tersebut memiliki program acara berita berbahasa Jepang. Wow keren yak. Entah apa alasannya stasiun televisi ini kok dirasa perlu membuat tayangan news berbahasa Jepang, saya nggak mendapat kejelasan juga. Namun rupa-rupanya program acara ini konon sangat populer karena ternyata orang-orang banyak yang mengenali sang penyiar beritanya, di manapun ia berada. Dari supir taksi hingga mbak-mbak pegawai kapal pesiar semua bisa mengenali. Mungkin bisa dibilang sepopuler Najwa Shihab gitu kalik ya. Yang jelas sepanjang cerita saya perlu berkali-kali dijelaskan kalau Helena ini adalah jurnalis. Ya mungkin saja jaga-jaga siapa tahu ditengah cerita saya amnesia. Yha.
Saya lumayan terusik dengan gaya narasi dalam novel ini. Saya mengamati bahwa verbanya ditulis tanpa imbuhan dan hampir nggak ada bedanya dengan dialog yang diucapkan para tokoh. Saya memang lebih menyukai narasi yang dipaparkan dalam bahasa baku, tapi saya juga oke oke saja dengan narasi yang kasual asalkan kalimatnya jelas susunannya, jelas mana induk kalimat dan anak kalimatnya.
Sang komandan berinisiatif interogasi wanita yang diketahui bernama Linda, pacar pelaku, di tengah ruang tamu. (hlm. 9)
Pada kalimat tersebut, jelas kita tahu kata "interogasi" merupakan sebuah nomina, untuk membentuknya menjadi verba tentunya diperlukan sebuah afiks. Bukankah "menginterogasi wanita" terdengar lebih tepat sebagai sebuah kalimat? Banyak sekali kalimat dengan kata tanpa prefiks semacam ini yang saya temui, membuat penyampaian plot dan aksinya terasa kurang nyaman untuk dibaca. Bisa dibilang saya serasa sedang membaca sinetweet yang biasa menyunat afiks karena keterbatasan karakter.
Pengkarakterannya sendiri masih mengambang. Tokoh-tokohnya masih memiliki "suara" yang sama dengan gestur yang masih mirip satu sama lain. Mestinya satu-dua tokoh saja yang konyol atau yang suka bercanda garing. Satu-dua tokoh saja yang bakat menggombalnya masih versi jadul. Satu-dua tokoh saja yang narsisnya nggak ketulungan. Satu tokoh saja yang gemar bikin puisi melow. Sehingga pengkarakterannya bisa unik berciri khas masing-masing, stabil juga konsisten hingga akhir cerita.
Dialog dalam novel ini masih kurang hidup karena gaya bicara tiap tokohnya masih seragam. Shirota memang menggunakan bahasa campur aduk Indonesia, Jepang dan Arab demikian juga dengan Helena yang sering pamer bahasa Jepang entah yang diajak bicara paham atau enggak, tapi toh gaya suaranya tetap sama. Terlebih penggunaan kata-kata indah dan puitis dalam dialog yang mereka ucapkan juga seolah salah tempat. Hal ini juga pastinya mempegaruhi chemistry antar tokohnya yang terasa hambar, meski saya berusaha diyakinkan setengah mati melalui narasi bahwa mereka pasangan romantis.
Ini dikarenakan gaya narasi aksinya yang lebih menekankan tell yang terasa hiperbolis. Ratusan kali saya dicekoki bahwa pasangan-pasangan ini romantis. Seolah tindakan saja belum cukup, penulis sepertinya merasa masih perlu menambahkan kata romantis di setiap penjelasan aksinya.
Alur ceritanya sendiri mulai lambat dan cukup membosankan di tengah cerita. Tindakan Helena diceritakan terlalu detail padahal akan lebih baik jika pembaca dibuat penasaran dan bertanya-tanya, cukup berikan saja satu dua informasi sekadarnya. Beberapa dialog antara Roby dan pengacaranya, juga dialog antara Helena dan Shirota terasa bertele-tele dan berputar-putar. Terasa dipanjang-panjangkan dan basi. Justru detail yang berkaitan dengan hukum yang mestinya bisa menumbuhkan minat pembaca atau menambah misteri malah diskip dengan narasi.
Namun menuju ke akhir, kisah ini mulai enak dinikmati ketegangannya. Cukup seru lah.
Bisa dibilang lebih banyak kekonyolan yang ditampilkan oleh novel ini. Ketegangan aksi dan thrillernya hanya secuil. Sangat disayangkan padahal menurut saya ide ceritanya sangat menarik dan akan menegangkan jika dieksekusi dengan lebih baik. Well.... akhir kata, membaca novel ini merupakan sebuah pengalaman yang bikin saya cengar-cengir geje karena menghadirkan twist yang unpredictable di endingnya. Wkwkwkk~~
0 komentar:
Posting Komentar